Menyelamatkan Jawa, Sekarang Juga!


DI Jawalah segala beban tersangga demikian berat, hingga membuat pulau ini tampak sempoyongan. Jawalah pusat peradaban utama di Nusantara, namun di situ juga kebiadaban dalam wujudnya yang paling paripurna terpentaskan dan telah menyejarah. Perlukah dengan segera Jawa diselamatkan?

Dalam sebuah kunjungannya di kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes), beberapa waktu lalu, Rektor Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang Budi Widianarko mengemukakan komitmen lembaganya untuk lebih memerhatikan Jawa.

“Pulau Jawa berperan sangat penting bagi Indonesia tetapi memiliki masalah yang sangat serius, sehingga perlu ditelaah dari berbagai aspek,” katanya.

Karena itulah, di universitasnya lantas didirikan The Java Institute. Harapannya, institut itu menjadi pusat penelitian yang mengaji Pulau Jawa sebagai sebuah entitas keruangan, sumber daya, ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya.

Sebegitu mendesakkah untuk menyelamatkan Jawa? Sebegitu seriuskan “penyakit” yang diidap oleh pulau yang subur kang sarwa tinandur namun tata titi tentrem kerta raharja tak kunjung juga jadi nyata?

Sarat Pradoks Jawa

Jawa sungguh-sungguh sarat paradoks. Kecil tetapi kuasa. Subur namun selalu kekurangan. Tempatnya bak surga, namun setiap saat bencana siap datang melanda. Menyusahkan, toh tetap saja dicintai, didiami, bahkan dirindukan tatkala beberapa saat saja ditinggalkan pergi.

Jawa adalah pulau urutan ke kelima terbesar di Nusantara, setelah (sebagian besar) Kalimantan , Sumatera, (sebagian) Irian, dan Sulawesi . Meski luas Pulau Jawa hanya 6,95 persen luas areal Indonesia, di tanah inilah lebih dari 130 juta jiwa bermukim atau 60 persen penduduk Indonesia.

Ketika Soeharto menjadi presiden, transmigrasi dilakukan secara masif. Beribu-ribu orang dimigrasikan dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan , Papua, dan Sulawesi . Berbagai iming-iming dan jargon persuasif tak henti-henti didengungkan. Alhasil, jutaan orang hijrah dan menemukan penghidupan baru di pulau-pulau yang terhitung masih rendah tingkat kepadatannya.

Bersamaan dengan itu, program keluarga berencana (KB) juga digalakkan. Jargon “dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja” kuat melekat di benak siapa pun kala itu.

Kedua program itu jelas sekali punya pertalian dengan penduduk Jawa yang telah disadari begitu padatnya. Dengan transmigrasi, kepadatan penduduk Jawa berkurang; dengan KB pertambahan penduduk (terutama Jawa) juga bisa ditekan.

Namun seiring dengan pergantian rezim, kedua program tersebut berkesan terbengkalai —paling tidak pamornya tampak meredup selama lebih dari satu dekade terakhir. Padahal, lepas dari perdebatan yang segera akan menyertai kedua hal tersebut, dari sisi kependudukan, itulah dua hal yang paling realistis dalam menyelamatkan Jawa.

Persoalan manusia yang menghuninya, juga yang telah meninggalkannya namun masih tetap kuat memiliki pertalian batin dengannya, memang segera mengemuka. Mengapa? Karena penanganan berbagai aspek sesungguhnya tidak lain dalam rangka untuk menyelamatkan manusia Jawa, termasuk yang sudah ngejawa dan yang tetap memegang kejawaannya.

Persoalan manusia, atau dalam pengertian sempit penduduk, senantiasa berimpit dengan masalah pangan, sandang, dan papan sebagai kebutuhan paling pokoknya. Pada Jawalah, lagi-lagi, hal-hal yang paradoksal itu kian tampak di situ.

Di Jawalah ketersediaan akan pangan mesti diberikan dalam porsi yang jauh lebih besar, meski wilayah ini pula yang sampai kini masih menjadi pemasok utama. Di Jawa juga pemenuhan akan tempat tinggal mesti dilakukan secara berlipat ganda, meski dengan begitu areal pemasok pangan (juga sandang) bakal kian menciut.

Itu belum lagi jika persoalannya dilebarkan pada masalah ekosistem. Di antara persoalan ekosistem, yang memiliki pertalian panjang secara historis dan juga kultural adalah hutan.

Menyelamatkan Hutan

Hutan adalah cermin peradaban. Hutan adalah tonggak kultural. Kisah tentang berdirinya sebuah negara, dalam semua cerita Jawa adalah narasi tentang babad alas. Ada Babad Wanamarta, Babad Tarik (Majapahit), Babad Glagahwangi (Demak), ada pula Babad Alas Mentaok (Mataram).

Pesona terhadap Jawa, bagi kolonial Belanda, di samping rempah-rempah —sesuatu yang selalu disebut dalam pelajaran sejarah di sekolah— adalah hasil hutan. Berabad-abad sebelumnya, tak ada masalah dengan ekosistem di Jawa. Selain jumlah penduduknya relatif rendah dibandingkan dengan sekarang, kawasan hutan serta pegunungan tidak banyak yang beralih fungsi.

Namun kawasan hutan Jawa beralih fungsi semenjak kongsi dagang Belanda melakukan eksploitasi alam di Jawa dengan mendirikan perkebunan-perkebunan di daerah kawasan hutan. Malahan, disusul dengan pendirian perusahaan milik kolonial yang melakukan eksploitasi hutan alam di Jawa.

Lambat laun, kebijakan terhadap hutan di Jawa sebagai penyangga ekosistem pulau yang sangat rentan dengan perubahannya ini kian kikis. Makin pudarlah anggapan bahwa ekosistem di Jawa harus tetap dijaga agar tidak terjadi perubahan kondisi alam yang drastis. Hutan yang semestinya menjadi penjaga utama ekosistem telah diporakporandakan fungsinya akibat nafsu untuk mengeksploitasi. Menghidupi segelintir orang, namun mematikan dalam jumlah tak berbilang. Mengenyangkan “masa kini” namun siap membunuh “masa depan”.

Hutan memang pambukaning warana atas “penyakit akut” yang diidap Jawa yang paling kasat mata. Sebagai tirai pembuka, pastilah ia bisa memampangkan, betapa komplikasi penyakit lain itu telah menggerogoti setiap organ yang ada di tubuhnya, dan celakanya sakit itu lebih-lebih telah merambah pada jiwa.

Maka, kini Jawa benar-benar membutuhkan jiwa-jiwa yang sehat para penghuninya. Jawa sudah menunjukkan kemampuannya untuk selalu momor-momot, namun sepanjang sejarah peradaban (dan kebiadabannya?) terbukti tidak teteg terhadap segala bujuk rayu dan tipu muslihat.

Jadi, ketika masalah yang membelit Jawa telah demikian karut-marut, telah bersimpang selimpat, lagi-lagi, dari mana upaya untuk menyelamatkannya bisa dimulai? “Dari pendidikan!” kata Supriadi Rustad, guru besar fisika yang pernah mengkidmati Gunung Merapi sambil menambahkan, “Sekarang juga.”

Tips Merawat Baterai Laptop

Laptop 
kerap menjadi piranti pilihan banyak orang dalam kegiatan sehari-hari terutama bagi mereka yang lebih sering bekerja secara mobile. Baterai laptop merupakan salah satu komponen penting yang harus diperhatikan penggunaannya. Banyak pengguna laptop mengaku baterainya drop dan tidak tahan lama padahal umur laptopnya baru seumur jagung. Bagaimana memperlakukan baterai agar lebih awet dan bisa dipakai lebih lama? Simak beberapa tips berikut ini.

Atur power baterai
Di Windows ada fitur yang namanya power options. Melalui fitur ini Anda bisa mengatur konsumsi daya laptop. Caranya sangat mudah. Klik tombol Start, lalu buka Control Panel dan kemudian double klik icon Power Options. Akan muncul sebuah kotak dialog dengan nama Power Option Properties. Lalu pilih tab Power Schemes. Pada menu drop down akan terdapat enam pilihan yaitu Home/Office Desk, Portable/Laptop, Presentation, Always On, Minimal Power Management dan Max Battery.

Coba klik salah satu dari enam pilihan tersebut. Setting-an turn of monitor, hard disk, System standby ataupun System hibernates akan berbeda-beda waktunya, tergantung dari opsi yang Anda pilih.

Jika ingin baterai lebih awet, Anda disarankan memilih 'Max Battery'. Pilihan ini akan menghemat penggunaan daya baterai karena hanya membutuhkan kecepatan prosesor minimal semisal untuk membaca dokumen atau mengecek e-mail. Max Battery akan mempengaruhi kecepatan laptop dalam arti performa laptop akan menurun.

Jangan biarkan ada perangkat tertancap di laptop jika tidak dipakai
Seringkali pengguna laptop membiarkan ada perangkat tertancap di laptop -- entah itu kabel kamera digital, USB memory stick, PC Card -- padahal perangkat tersebut sudah tidak digunakan lagi. Pastikan alat tersebut dicabut dari laptop jika sedang tidak digunakan karena akan menguras power baterai.  
 
Perhatikan penggunaan dan pengecasan baterai
Jangan tanggung-tanggung mengecas baterai. Caslah hingga penuh 100 persen. Jika baterai sudah hampir habis, caslah baterai kembali hingga penuh namun jangan sampai menunggu baterai benar-benar kosong. Ini akan membuat kapasitas baterai bekerja dengan baik.

Yang perlu diperhatikan lagi, lepaskan baterai dari laptop jika Anda tidak menggunakan laptop dalam waktu yang lama. Akan lebih baik jika laptop ditancapkan langsung ke adaptor jika memang Anda akan bekerja dalam waktu yang cukup lama.

Kurangi brightness
Webuser dot co dot uk melansir bahwa LCD akan memakan daya baterai. Oleh karena itu Anda disarankan untuk mengurangi brightness laptop seminimal mungkin namun tetap nyaman dipandang mata.

Gunakan screen savers 'Blank'
Screen saver ternyata bisa menguras baterai. Karena itu gunakan screen saver 'Blank'. Caranya, klik kanan pada Desktop lalu pilih Properties. Akan muncul kotak dialog Display Properties, lalu pilih tab Screen Saver. Pada menu drop down terdapat banyak pilihan Screen saver, diantaranya 3D FlowerBox, 3D Flying Objects, 3D Text, Blank, Marquee dan sebagainya. Anda disarankan untuk memilih 'Blank' dan atur waktu menunggunya (Wait time) hingga 2 menit lalu klik OK. Langkah ini akan membuat baterai lebih hemat.

Kurangi resolusi
Cara lain untuk membuat baterai lebih awet adalah dengan mengurangi resolusi layar dan jumlah warna yang digunakan di laptop. Untuk menguranginya, Anda bisa klik kanan pada Windows Desktop lalu pilih Properties. Pada kotak dialog Display Properties pilih tab Settings. Lalu atur resolusinya dengan cara menarik slider-nya ke kiri untuk mengurangi resolusi. Kemudian pada menu drop down pilih kualitas warna (color quality) yang lebih rendah, lalu klik OK.

Matikan Wi-Fi
Wi-Fi yang aktif tentu saja ikut memakan konsumsi baterai. Jika tidak berniat memanfaatkan akses nirkabel atau ber-Internet, pastikan Wi-Fi dalam keadaan mati sehingga baterai lebih awet 

forumkami.com




Mengembangkan Kecerdasan Moral Anak

nilah salah satu tanggung jawab kita sebagai orang tua. Kalau tidak, si kecil akan sembarangan menyerap sistem nilai dari lingkungannya.
Bapak-Ibu mungkin pernah mendengar istilah kecerdasan moral. Bila dikaitkan dengan teori multiple intelligent -nya Gardner, sebenarnya kecerdasan moral sudah termasuk. Misal, dalam hal kemampuan interpersonal. Bukankah untuk bisa menjalin hubungan secara efektif, maka seseorang harus memiliki, antara lain tata krama pergaulan?
Dengan demikian, kecerdasan moral, bukan cuma perlu tapi malah wajib dikembangkan. Terlebih lagi, tingkah laku yang manis dan sopan atau sesuai aturan norma yang berlaku, tak akan muncul dengan sendirinya dari dalam diri anak, melainkan harus diajarkan. "Tak ada nilai yang terbentuk secara interen atau ada pada diri seseorang," ujar dra. Rostiana , Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta.


SEJAK KENAL LINGKUNGAN
Menurut Rostiana, setiap manusia dilahirkan dalam kondisi buruk sehingga harus disosialisasikan. Selain itu, manusia juga membutuhkan orang lain, tak bisa hidup sendiri. "Nah, dalam upaya memperoleh bantuan dari orang lain itulah, maka ada tata caranya, ada aturan-aturan agar setiap orang bisa mencapai tujuannya. Aturan ini secara budaya akhirnya dikenal sebagai norma," terangnya. Norma tersebut akan sampai kepada individu melalui 3 hal, yaitu sosialisasi, internalisasi, dan identifikasi. "Ketiga hal tersebut dimulai sejak dini, sejak anak mulai berinteraksi dengan lingkungan."
Bukankah sosialisasi terjadi saat anak mulai mengenal lingkungan di luar dirinya? Entah lingkungan di dalam maupun di luar rumah, "Tapi terutama lingkungan di dalam rumah, karena itulah dasarnya. Saat itulah basic trust terbentuk. Dari bayi sampai usia setahun, ia mulai belajar dirinya berharga atau tidak. Di sini ia mulai mengembangkan bagaimana caranya agar ia eksis di lingkungannya." Tentunya, untuk bisa eksis akan banyak tuntutan yang harus ia terima. Di antaranya, aturan, baik yang tertulis maupun tidak. Namun bagi anak, tak masalah apakah aturan itu tertulis atau tidak. Yang penting, apa yang sampai kepadanya. "Nah, proses sampai kepada dirinya itu dinamakan internasilisasi."
Selanjutnya, ia akan menyerap melalui proses imitasi dari orang-orang terdekatnya, yaitu figur-figur yang bermakna buatnya; entah ibunya, ayahnya, kakaknya, atau malah pengasuhnya. "Dari proses imitasi inilah muncul identifikasi; ia mencoba meniru apa yang dilakukan orang dewasa yang ia pilih dan mempunyai makna buatnya. Biasanya figur tersebut adalah orang tua atau kakak." Itulah mengapa, sejak anak mulai mengenal lingkungan, pembentukan norma atau moral menjadi sangat penting. Namun kendalanya, terang Rostiana, "cara berpikir anak masih sangat simpel karena ia masih dalam tahap berpikir praoperasional, yang segala-galanya harus konkret."
Ia pun belum bisa berpikir secara rasional sehingga imajinasi dan sesuatu yang nyata bercampur-aduk jadi satu. Makanya, ia masih sering berkhayal tapi merasa nyata. "Di sini tahap paling kritis bagi anak." Kecuali itu, pada masa prasekolah, "secara fisik, pembentukan otak mulai mantap tapi ia belum bisa menggunakan potensinya itu, masih dalam proses belajar, sehingga hanya secara fisik saja ia siap." Ibarat orang berjalan, ia masih timpang. Dengan demikian, ia masih sangat sensitif. Kalau ia tak bisa mencerna lingkungannya, ia akan jadi anak temper tantrum ; gampang mengamuk atau marah bila keinginannya tak dituruti. Tapi bila keinginannya dipenuhi, jadilah perilakunya itu sebagai perilaku yang benar, yang menjadi sistem nilainya.

KONSEP BOLEH TAK BOLEH
Nah, agar ia tahu aturan, kecerdasan moralnya harus dikembangkan. Tentu secara bertahap. Anjur Rostiana, mulailah dari konsep boleh-tak boleh, bukan dari konsep salah-benar karena anak belum mengerti apa itu salah dan benar. "Tapi kalau sesuatu boleh dan tak boleh dilakukan, akan lebih mudah diterima oleh konsep berpikirnya." Selanjutnya, bila ia dimarahi karena melakukan hal yang tak boleh, barulah ia tahu bahwa itu salah. Tapi jangan lupa, lo, aturannya harus jelas. Misal, "Kakak enggak boleh meludah sembarangan." Kalau ia tanya, "Kenapa, Ma?", jelaskan alasannya. "Dari sini orang tua bisa masuk pada konsep sopan dan tak sopan."
Dalam kultur Timur, konsep sopan dan tak sopan merupakan norma pertama, baru kemudian konsep benar dan salah. Namun begitu, "jangan langsung katakan bahwa ia tak sopan karena ia tak bisa langsung menangkap apa itu sopan." Jadi, penjelasannya harus secara konkret dulu. Misalnya, "Itu enggak boleh karena ludah mengandung kotoran." Kendati secara kultur bukan karena kotorannya yang penting, melainkan sopan dan tak sopan. Baru kemudian dilanjutkan, "Itu juga enggak sopan kalau Kakak meludah sembarangan."
Dengan demikian, ia akhirnya akan mengkaitkan yang baik dan sopan itu kalau enggak meludah sembarangan. "Nah, hal ini konkret buat anak." Contoh lain, "Kakak enggak boleh lewat begitu saja di depan orang tua. Itu enggak baik. Yang baik itu kalau lewat di depan orang tua, jalannya dengan menunduk. Itu yang sopan." Ia akan mengkaitkan bahwa yang baik dan sopan itu kalau lewat di depan orang tua dengan menunduk.
Jadi, Bu-Pak, jangan cuma asal melarang tapi juga menjelaskan kenapa enggak boleh dan kenapa boleh, agar anak tak bingung. Disamping, ia menyerap konsep boleh dan tak boleh untuk dikembangkan pada konsep benar dan salah. "Nah, kita, kan, hendak membenahi sistem nilai yang salah, jadi ia perlu memperoleh kejelasan supaya tahu persis kenapa boleh dan kenapa tak boleh sehingga ia lebih menyerap," tutur Rostiana.
Contoh lain lagi, saat bertamu. Terangkan dengan jelas, "Kakak tak boleh berlarian ke sana ke mari. Itu enggak baik dan enggak sopan dilakukan di rumah orang." Terangkan pula apa yang boleh, misalnya, "Yang boleh dilakukan kalau ke rumah orang adalah duduk. Jika dikasih minum, bilang terima kasih. Kalau Kakak mau minum, bilang permisi dulu. Itu namanya sopan."
Dengan demikian, konsep sopan santun dan boleh-tak boleh ini akan mudah terserap olehnya. Tentu memberi tahunya sebelum berangkat bertamu, menjelang situasi yang akan ia jumpai. "Jangan terlalu awal memberi tahunya, misal, beberapa minggu sebelumnya. Ia akan cepat lupa. Tapi kalau sesaat sebelum pergi, ia akan mudah mengingatnya." Yang jelas, konsep norma harus terus-menerus diberikan kepada anak, sehingga semakin hari semakin banyak konsep norma yang tertanam dalam dirinya.

KONSEP BENAR SALAH
Selanjutnya, bila ia melanggar hal yang tak boleh, harus ada konsekuensinya berupa punishment . Sebaliknya, bila ia patuh, berilah reward . Nah, dari sini ia akan belajar tentang konsep benar-salah. Bukankah dengan mendapat konsekuensi, ia jadi tahu bahwa sesuatu itu salah atau benar?
Kalau ia mendapat pujian karena tingkah lakunya, berarti apa yang dilakukannya itu benar. Tapi kalau tingkah lakunya itu mendapatkan punish, berarti ia salah. Tentu perihal salah-tidaknya perilaku si anak harus diberi tahu orang tua. Misalnya, selama bertamu ia duduk dengan manis dan sopan, ia pun permisi dulu saat hendak main. Nah, sepulang bertamu, kita harus menjelaskan, "Tadi perilaku Kakak itu benar. Mama bangga karenanya. Nanti kalau bertamu lagi ke rumah orang lain harus seperti itu, ya."
Dengan demikian, ia mendapat masukan langsung, apa itu yang benar dan salah. Kita pun bisa mengkaitkan konsep benar-salah dengan konsep kejujuran, keadilan, persaudaraan, dan menghormati orang lain. "Tinggal orang tua mau menanamkan konsep mana yang utama untuk anaknya," ujar Rostiana. Jadi, bila Ibu-Bapak ingin si kecil punya prinsip yang kuat, menghargai kejujuran, keadilan, dan menghargai orang lain, maka itulah yang harus terus-menerus secara konsisten ditanamkan kepadanya.

NILAI NETRAL
Penanaman nilai-nilai moral, tutur Rostiana, akan lebih mudah terserap oleh anak bila dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. "Sampai nanti ia berusia 10 tahun, apa yang kita sampaikan akan membentuk sistem nilai tersendiri. Selanjutnya, sistem nilai ini akan membentuk dalam dirinya hingga ia besar nanti."
Dengan demikian, bila orang tua tak mengajarkan nilai-nilai, anak akan menyerap sembarangan sistem nilai yang ia dapat dari lingkungannya, sehingga sistem nilai yang terbentuk dalam dirinya juga enggak kuat. Padahal, ada sistem nilai yang sangat sentral dalam diri seseorang dan sangat mempengaruhi tingkah lakunya. Di antaranya, kejujuran.
"Jika nilai itu terus-menerus ditanamkan, akan membentuk sistem nilai yang sentral. Walau ada uang menggeletak di mana pun, kalau ia mau menggunakannya maka ia akan minta izin dulu. Sekalipun uang itu tergeletak di lantai, misalnya." Tapi jangan langsung mengkaitkan nilai kejujuran dengan konsep agama, ya, Bu-Pak. Misal, mencuri itu berdosa. "Ia belum bisa menangkap karena ia tak mengerti apa itu dosa. Lebih baik dikaitkan dengan untung-ruginya bagi orang lain."
Misal, "Coba kalau Kakak punya uang Rp. 500 yang ingin sekali Kakak pakai untuk beli susu kedelai, tapi tiba-tiba uang itu dicuri orang. Nah, bagaimana perasaan Kakak ? Wah, berat juga, ya, Bu-Pak, tugas kita dalam mengembangkan kecerdasan moral anak.  

BELAJAR DARI TV
Anak biasanya suka sekali nonton TV. Kita bisa memanfaatkan media ini untuk menerangkan pesan moral yang tertangkap dari tayangan yang ditonton anak. Itulah mengapa, para ahli selalu menganjurkan orang tua agar mendampingi anak selagi menonton TV. "Jadi, bukan hanya sekadar duduk menonton, tapi juga membahas apa yang ingin disampaikan dari tayangan tersebut," ujar Rostiana. Kala menonton berita kekerasan, misalnya, "orang tua bisa mengatakan bahwa perbuatan itu sadis dan terangkan apa itu perilaku sadis yang dikaitkan dengan sistem moralnya." Misal, "Sadis itu perilaku yang salah karena merugikan orang lain." Bila dari sosialnya sudah ketangkap oleh anak, selanjutnya kaitkan dengan nilai agamanya. Misal, "Oleh karena itu agama melarang perbuatan sadis." Dengan demikian, ia tahu bahwa agama mempunyai posisi yang lebih tinggi. Sarana lain yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan kecerdasan moral anak ialah bacaan, film, maupun situasi yang dijumpai kala jalan-jalan.

WASPADAI PENGARUH BURUK LINGKUNGAN HETEROGEN
 Menurut Rostiana , akan lebih mudah bila kita tinggal di lingkungan homogen ketimbang heterogen. Soalnya, di lingkungan homogen semisal kompleks perumahan, karakteristik orangnya juga cenderung homogen, sehingga akan lebih mudah bagi kontrol moral anak. "Sesama orang tua di lingkungan tersebut akan saling mengingatkan bila ada anak yang menunjukkan perilaku tak sopan atau salah."
Dengan demikian, ajaran yang diterima anak dari lingkungannya akan sama dengan ajaran yang diterima dari rumah. Tak demikian halnya di lingkungan heterogen, apa yang diajarkan lingkungan akan berbeda dengan yang diterima anak dari rumah. "Orang tua juga akan sulit mendeteksi dari mana perilaku tersebut diperoleh anak." Nah, agar si kecil terhindar dari pengaruh buruk lingkungan heterogen, Ibu-Bapak harus lebih sering berkomunikasi dengannya. "Kita, kan, enggak bisa mengontrol lingkungan. Jadi, anak kitalah yang kita kontrol. Caranya, ya, dengan komunikasi."
Jika ia sampai terpengaruh, misal, omong kasar/jorok atau duduk di atas meja, berarti kita harus kembali menjelaskan kepadanya, "bahwa tak semua hal yang ada di lingkungan itu baik." Terangkan dengan bahasa sederhana, misal, "Orang-orang itu enggak sama dengan Papa-Mama. Apa yang mereka lakukan itu sebenarnya enggak baik, tapi mereka enggak kasih tahu karena mereka sendiri enggak tahu bahwa itu sebenarnya salah."

KEJUJURAN DARI RUMAH
 Bila ingin si kecil jujur, mulailah dari rumah. Ibu-Bapak harus mengusahakan untuk berperilaku yang bisa ditangkap anak sebagai suatu kejujuran. Misal, Ibu atau Bapak capek pulang kerja dan tak mau menerima telepon. Jangan minta anak untuk berbohong dengan mengatakan Ibu/Bapak sedang pergi atau belum pulang, tapi katakan, "Hari ini Ibu capek sekali dan ingin istirahat. Nanti kalau ada telepon, bilang Ibu lagi istirahat, ya."
Alasan tersebut jelas dan tak mengada-ada karena Ibu/Bapak memang capek dan butuh istirahat. "Tapi harus benar-benar istirahat, lo, bukan malah pergi berjalan-jalan, misalnya," ujar Rostiana . Bila demikian, berarti sudah berbohong. Itulah mengapa, penting bagi orang tua untuk menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan kepada anak.

AJARKAN NILAI YANG SAMA PADA PENGASUH
 Supaya yang kita ajarkan kepada anak tak meleset terlalu jauh, saran Rostiana , sebaiknya kita juga mengajarkan nilai-nilai yang sama kepada pembantu atau pengasuh anak. Terlebih pada ibu-ibu bekerja yang sebagian besar waktu anaknya dihabiskan bersama si pengasuh, sehingga nilai-nilai moral si pengasuh pun akan terserap oleh anak. "Itulah pentingnya kita mencari pembantu ataupun pengasuh anak yang mempunyai konsep nilai sepaham dengan kita. Paling tidak, kita ajarkan agar sama."
Nova

KOES PLUS, Legenda Yang Tak Pernah Terlupakan



Koes Plus adalah grup musik Indonesia yang dibentuk pada tahun 1969 sebagai kelanjutan dari grup Koes Bersaudara. Grup musik yang terkenal pada dasawarsa 1970-an ini sering dianggap sebagai pelopor musik pop dan rock 'n roll di Indonesia. Sampai sekarang, grup musik ini kadang masih tampil di pentas musik membawakan lagu-lagu lama mereka, walaupun hanya tinggal dua anggotanya (Yon dan Murry) yang aktif.

Lagu-lagu mereka banyak dibawakan oleh pemusik lain dengan aransemen baru. Sebagai contoh, Lex's Trio membuat album yang khusus menyanyikan ulang lagu-lagu Koes Plus, Cintamu T'lah Berlalu yang dinyanyikan ulang oleh Chrisye, serta Manis dan Sayang yang dibawakan oleh Kahitna.

Koes Bersaudara

1. John Koeswoyo
2. Tonny Koeswoyo
3. Yon Koeswoyo
4. Yok Koeswoyo
5. Nomo Koeswoyo

Koes Bersaudara

1. Tonny Koeswoyo
2. Yon Koeswoyo
3. Yok Koeswoyo
4. Nomo Koeswoyo

'setelah keluar dari penjara'

Koes Plus

1. Tonny Koeswoyo
2. Yon Koeswoyo
3. Yok Koeswoyo
4. Murry

Perjalanan karir

Kelompok ini dibentuk pada tahun 1969, sebagai kelanjutan dari kelompok “Koes Bersaudara”. Koes Bersaudara menjadi pelopor musik pop dan rock 'n roll, bahkan pernah dipenjara karena musiknya yang dianggap mewakili aliran politik kapitalis. Di saat itu sedang garang-garangnya gerakan anti kapitalis di Indonesia.

Era Orde Lama

Pada Kamis 1 Juli 1965, sepasukan tentara dari Komando Operasi Tertinggi (KOTI) menangkap kakak beradik Tony, Yon, dan Yok Koeswoyo dan mengurung mereka di LP Glodok, kemudian Nomo Koeswoyo atas kesadaran sendiri, datang menyusul. Adik Alm Tony Koeswoyo itu rupanya memilih "mangan ora mangan kumpul" ketimbang berpisah dari saudara-saudara tercinta. Adapun kesalahan mereka adalah karena selalu memainkan lagu - lagu The Beatles yang dianggap meracuni jiwa generasi muda saat itu. Sebuah tuduhan tanpa dasar hukum dan cenderung mengada ada, mereka dianggap memainkan musik "ngak ngek ngok" istilah Pemerintahan berkuasa saat itu, musik yg cenderung imperialisme pro barat. Dari penjara justru menghasilkan lagu-lagu yang sampai saat sekarang tetap menggetarkan, "Didalam Bui", "jadikan aku dombamu", "to the so called the guilties", dan "balada kamar 15". 29 September 1965, sehari sebelum meletus G 30 S-PKI, mereka dibebaskan tanpa alasan yang jelas.belakangan setelah Peristiwa itu berlalu,Koes Bersaudara yang masih hidup dan menginjak usia tua melakukan testimoni di depan pemirsa acara talkshow KICK ANDY (Metro TV)pada akhir 2008 bahwa di balik penangkapan mereka sebenarnya pemerintahan Soekarno menugaskan mereka dalam sebuah operasi Kontra Intelejen guna mendukung gerakan Ganyang Malaysia.

Dari Koes Bersaudara menjadi Koes Plus

Dari kelompok Koes Bersaudara ini lahir lagu-lagu yang sangat populer seperti “Bis Sekolah”,“ Di Dalam Bui”, “Telaga Sunyi”, “Laguku Sendiri” dan masih banyak lagi. Satu anggota Koes Bersaudara, Nomo Koeswoyo keluar dan digantikan Murry sebagai drummer. Walaupun penggantian ini awalnya menimbulkan masalah dalam diri salah satu personalnya yakni Yok yang keberatan dengan orang luar. Nama Bersaudara seterusnya diganti dengan Plus, artinya plus orang luar: Murry.

Sebenarnya lagu-lagu Koes Bersaudara lebih bagus dari segi harmonisasi ( seperti lagu “Telaga Sunyi”, “Dewi Rindu” atau “Bis Sekolah”) dibanding lagu-lagu Koes Plus. Saat itu Nomo, selain bermusik juga mempunya pekerjaan sampingan. Sementara Tonny menghendaki totalitas dalam bermusik yang membuat Nomo harus memilih. Akhirnya Koes Bersaudara harus berubah. Kelompok Koes Plus dimotori oleh almarhum Tonny Koeswoyo (anggota tertua dari keluarga Koeswoyo). Koes Plus dan Koes Bersaudara harus dicatat sebagai pelopor musik pop di Indonesia. Sulit dibayangkan sejarah musik pop kita tanpa kehadiran Koes Bersaudara dan Koes Plus.

Tradisi membawakan lagu ciptaan sendiri adalah tradisi yang diciptakan Koes Bersaudara. Kemudian tradisi ini dilanjutkan Koes Plus dengan album serial volume 1, 2 dan seterusnya. Begitu dibentuk, Koes Plus tidak langsung mendapat simpati dari pecinta musik Indonesia. Piringan hitam album pertamanya sempat ditolak beberapa toko kaset. Mereka bahkan mentertawakan lagu “Kelelawar” yang sebenarnya asyik itu.

Kemudian Murry sempat ngambek dan pergi ke Jember sambil membagi-bagikan piringan hitam albumnya secara gratis pada teman-temannya. Dia bekerja di pabrik gula sekalian main band bersama Gombloh dalam grup musik Lemon Trees. Tonny yang kemudian menyusul Murry untuk diajak kembali ke Jakarta. Baru setelah lagu “Kelelawar” diputar di RRI orang lalu mencari-cari album pertama Koes Plus. Beberapa waktu kemudian lewat lagu-lagunya “Derita”, “Kembali ke Jakarta”, “Malam Ini”, “Bunga di Tepi Jalan” hingga lagu “Cinta Buta”, Koes Plus mendominasi musik Indonesia waktu itu.

Kiblat Musik Pop Indonesia

Dengan adanya tuntutan dari produser perusahaan rekaman maka group-group lain yang “seangkatan” seperti Favourites, Panbers, Mercy's, D'Lloyd menjadikan Koes Plus sebagai “kiblat”, sehingga group-group ini selalu meniru apa yang dilakukan Koes Plus, pembuatan album di luar pop Indonesia, seperti pop melayu dan pop jawa menjadi trend group-group lain setelah Koes Plus mengawalinya.

"Seandainya kelompok ini lahir di Inggris atau AS bukan tidak mungkin akan menggeser popularitas Beatles"[rujukan?]

“Lagu Nusantara I” (Volume 5), “Oh Kasihku” (Volume 6), “Mari-Mari” (Volume 7), “Diana” dan “Kolam Susu” ( Volume 8) merajai musik pop waktu itu. Puncak kejayaan Koes Plus terjadi ketika mereka mengeluarkan album Volume 9 dengan lagu yang sangat terkenal “Muda-Mudi” (yang diciptakan Koeswoyo, bapak dari Tonny, Yon dan Yok). Disusul lagu “Bujangan” dan “Kapan-Kapan” dari volume 10. Masih berlanjut dengan lagu “Nusantara V” dari album Volume 11 dan “Cinta Buta” dari album Volume 12.

Bersamaan dengan itu Koes Plus juga mengeluarkan album pop Jawa dengan lagu yang dikenal dari tukang becak, ibu-ibu rumah tangga, hinga anak-anak muda, yaitu “Tul Jaenak” dan “Ojo Nelongso”. Belum lagi lagu mereka yang berirama melayu seperti “Mengapa”, “Cinta Mulia” dan lagu keroncongnya yang berjudul “Penyanyi Tua”. Sayang sekali di setiap album yang mereka keluarkan tidak ada dokumentasi bulan dan tahun, sehingga susah melacak album tertentu dikeluarkan tahun berapa. Bahkan tidak ada juga kata-kata pengantar lainnya. Album mereka baru direkam secara teratur mulai volume VIII setelah ditandatangani kontrak dengan Remaco. Sebelumnya perusahaan yang merekam album-album mereka adalah “Dimita”.

Pada tahun 1972-1976 udara Indonesia benar-benar dipenuhi oleh lagu-lagu Koes Plus. Baik radio atau orang pesta selalu mengumandangkan lagu Koes Plus. Barangkali tidak ada orang-orang Indonesia yang waktu itu masih berusia remaja yang tidak mengenal Koes Plus. Kapan Koes Plus mengeluarkan album baru selalu ditunggu-tunggu pecinta Koes Plus dan masyarakat umum.

Tahun 1972 Koes Plus sempat menjadi band terbaik dalam Jambore Band di Senayan. Semua peserta menyanyikan lagu Barat berbahasa Inggris. Hanya Koes Plus yang berani tampil beda dengan menyanyikan lagu “Derita” dan “Manis dan Sayang”.