DI Jawalah segala beban tersangga demikian berat, hingga membuat pulau ini tampak sempoyongan. Jawalah pusat peradaban utama di Nusantara, namun di situ juga kebiadaban dalam wujudnya yang paling paripurna terpentaskan dan telah menyejarah. Perlukah dengan segera Jawa diselamatkan?
Dalam sebuah kunjungannya di kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes), beberapa waktu lalu, Rektor Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang Budi Widianarko mengemukakan komitmen lembaganya untuk lebih memerhatikan Jawa.
“Pulau Jawa berperan sangat penting bagi Indonesia tetapi memiliki masalah yang sangat serius, sehingga perlu ditelaah dari berbagai aspek,” katanya.
Karena itulah, di universitasnya lantas didirikan The Java Institute. Harapannya, institut itu menjadi pusat penelitian yang mengaji Pulau Jawa sebagai sebuah entitas keruangan, sumber daya, ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya.
Sebegitu mendesakkah untuk menyelamatkan Jawa? Sebegitu seriuskan “penyakit” yang diidap oleh pulau yang subur kang sarwa tinandur namun tata titi tentrem kerta raharja tak kunjung juga jadi nyata?
Dalam sebuah kunjungannya di kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes), beberapa waktu lalu, Rektor Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang Budi Widianarko mengemukakan komitmen lembaganya untuk lebih memerhatikan Jawa.
“Pulau Jawa berperan sangat penting bagi Indonesia tetapi memiliki masalah yang sangat serius, sehingga perlu ditelaah dari berbagai aspek,” katanya.
Karena itulah, di universitasnya lantas didirikan The Java Institute. Harapannya, institut itu menjadi pusat penelitian yang mengaji Pulau Jawa sebagai sebuah entitas keruangan, sumber daya, ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya.
Sebegitu mendesakkah untuk menyelamatkan Jawa? Sebegitu seriuskan “penyakit” yang diidap oleh pulau yang subur kang sarwa tinandur namun tata titi tentrem kerta raharja tak kunjung juga jadi nyata?
Sarat Pradoks Jawa
Jawa sungguh-sungguh sarat paradoks. Kecil tetapi kuasa. Subur namun selalu kekurangan. Tempatnya bak surga, namun setiap saat bencana siap datang melanda. Menyusahkan, toh tetap saja dicintai, didiami, bahkan dirindukan tatkala beberapa saat saja ditinggalkan pergi.
Jawa adalah pulau urutan ke kelima terbesar di Nusantara, setelah (sebagian besar) Kalimantan , Sumatera, (sebagian) Irian, dan Sulawesi . Meski luas Pulau Jawa hanya 6,95 persen luas areal Indonesia, di tanah inilah lebih dari 130 juta jiwa bermukim atau 60 persen penduduk Indonesia.
Ketika Soeharto menjadi presiden, transmigrasi dilakukan secara masif. Beribu-ribu orang dimigrasikan dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan , Papua, dan Sulawesi . Berbagai iming-iming dan jargon persuasif tak henti-henti didengungkan. Alhasil, jutaan orang hijrah dan menemukan penghidupan baru di pulau-pulau yang terhitung masih rendah tingkat kepadatannya.
Bersamaan dengan itu, program keluarga berencana (KB) juga digalakkan. Jargon “dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja” kuat melekat di benak siapa pun kala itu.
Kedua program itu jelas sekali punya pertalian dengan penduduk Jawa yang telah disadari begitu padatnya. Dengan transmigrasi, kepadatan penduduk Jawa berkurang; dengan KB pertambahan penduduk (terutama Jawa) juga bisa ditekan.
Namun seiring dengan pergantian rezim, kedua program tersebut berkesan terbengkalai —paling tidak pamornya tampak meredup selama lebih dari satu dekade terakhir. Padahal, lepas dari perdebatan yang segera akan menyertai kedua hal tersebut, dari sisi kependudukan, itulah dua hal yang paling realistis dalam menyelamatkan Jawa.
Persoalan manusia yang menghuninya, juga yang telah meninggalkannya namun masih tetap kuat memiliki pertalian batin dengannya, memang segera mengemuka. Mengapa? Karena penanganan berbagai aspek sesungguhnya tidak lain dalam rangka untuk menyelamatkan manusia Jawa, termasuk yang sudah ngejawa dan yang tetap memegang kejawaannya.
Persoalan manusia, atau dalam pengertian sempit penduduk, senantiasa berimpit dengan masalah pangan, sandang, dan papan sebagai kebutuhan paling pokoknya. Pada Jawalah, lagi-lagi, hal-hal yang paradoksal itu kian tampak di situ.
Di Jawalah ketersediaan akan pangan mesti diberikan dalam porsi yang jauh lebih besar, meski wilayah ini pula yang sampai kini masih menjadi pemasok utama. Di Jawa juga pemenuhan akan tempat tinggal mesti dilakukan secara berlipat ganda, meski dengan begitu areal pemasok pangan (juga sandang) bakal kian menciut.
Itu belum lagi jika persoalannya dilebarkan pada masalah ekosistem. Di antara persoalan ekosistem, yang memiliki pertalian panjang secara historis dan juga kultural adalah hutan.
Jawa adalah pulau urutan ke kelima terbesar di Nusantara, setelah (sebagian besar) Kalimantan , Sumatera, (sebagian) Irian, dan Sulawesi . Meski luas Pulau Jawa hanya 6,95 persen luas areal Indonesia, di tanah inilah lebih dari 130 juta jiwa bermukim atau 60 persen penduduk Indonesia.
Ketika Soeharto menjadi presiden, transmigrasi dilakukan secara masif. Beribu-ribu orang dimigrasikan dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan , Papua, dan Sulawesi . Berbagai iming-iming dan jargon persuasif tak henti-henti didengungkan. Alhasil, jutaan orang hijrah dan menemukan penghidupan baru di pulau-pulau yang terhitung masih rendah tingkat kepadatannya.
Bersamaan dengan itu, program keluarga berencana (KB) juga digalakkan. Jargon “dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja” kuat melekat di benak siapa pun kala itu.
Kedua program itu jelas sekali punya pertalian dengan penduduk Jawa yang telah disadari begitu padatnya. Dengan transmigrasi, kepadatan penduduk Jawa berkurang; dengan KB pertambahan penduduk (terutama Jawa) juga bisa ditekan.
Namun seiring dengan pergantian rezim, kedua program tersebut berkesan terbengkalai —paling tidak pamornya tampak meredup selama lebih dari satu dekade terakhir. Padahal, lepas dari perdebatan yang segera akan menyertai kedua hal tersebut, dari sisi kependudukan, itulah dua hal yang paling realistis dalam menyelamatkan Jawa.
Persoalan manusia yang menghuninya, juga yang telah meninggalkannya namun masih tetap kuat memiliki pertalian batin dengannya, memang segera mengemuka. Mengapa? Karena penanganan berbagai aspek sesungguhnya tidak lain dalam rangka untuk menyelamatkan manusia Jawa, termasuk yang sudah ngejawa dan yang tetap memegang kejawaannya.
Persoalan manusia, atau dalam pengertian sempit penduduk, senantiasa berimpit dengan masalah pangan, sandang, dan papan sebagai kebutuhan paling pokoknya. Pada Jawalah, lagi-lagi, hal-hal yang paradoksal itu kian tampak di situ.
Di Jawalah ketersediaan akan pangan mesti diberikan dalam porsi yang jauh lebih besar, meski wilayah ini pula yang sampai kini masih menjadi pemasok utama. Di Jawa juga pemenuhan akan tempat tinggal mesti dilakukan secara berlipat ganda, meski dengan begitu areal pemasok pangan (juga sandang) bakal kian menciut.
Itu belum lagi jika persoalannya dilebarkan pada masalah ekosistem. Di antara persoalan ekosistem, yang memiliki pertalian panjang secara historis dan juga kultural adalah hutan.
Menyelamatkan Hutan
Hutan adalah cermin peradaban. Hutan adalah tonggak kultural. Kisah tentang berdirinya sebuah negara, dalam semua cerita Jawa adalah narasi tentang babad alas. Ada Babad Wanamarta, Babad Tarik (Majapahit), Babad Glagahwangi (Demak), ada pula Babad Alas Mentaok (Mataram).
Pesona terhadap Jawa, bagi kolonial Belanda, di samping rempah-rempah —sesuatu yang selalu disebut dalam pelajaran sejarah di sekolah— adalah hasil hutan. Berabad-abad sebelumnya, tak ada masalah dengan ekosistem di Jawa. Selain jumlah penduduknya relatif rendah dibandingkan dengan sekarang, kawasan hutan serta pegunungan tidak banyak yang beralih fungsi.
Namun kawasan hutan Jawa beralih fungsi semenjak kongsi dagang Belanda melakukan eksploitasi alam di Jawa dengan mendirikan perkebunan-perkebunan di daerah kawasan hutan. Malahan, disusul dengan pendirian perusahaan milik kolonial yang melakukan eksploitasi hutan alam di Jawa.
Lambat laun, kebijakan terhadap hutan di Jawa sebagai penyangga ekosistem pulau yang sangat rentan dengan perubahannya ini kian kikis. Makin pudarlah anggapan bahwa ekosistem di Jawa harus tetap dijaga agar tidak terjadi perubahan kondisi alam yang drastis. Hutan yang semestinya menjadi penjaga utama ekosistem telah diporakporandakan fungsinya akibat nafsu untuk mengeksploitasi. Menghidupi segelintir orang, namun mematikan dalam jumlah tak berbilang. Mengenyangkan “masa kini” namun siap membunuh “masa depan”.
Hutan memang pambukaning warana atas “penyakit akut” yang diidap Jawa yang paling kasat mata. Sebagai tirai pembuka, pastilah ia bisa memampangkan, betapa komplikasi penyakit lain itu telah menggerogoti setiap organ yang ada di tubuhnya, dan celakanya sakit itu lebih-lebih telah merambah pada jiwa.
Maka, kini Jawa benar-benar membutuhkan jiwa-jiwa yang sehat para penghuninya. Jawa sudah menunjukkan kemampuannya untuk selalu momor-momot, namun sepanjang sejarah peradaban (dan kebiadabannya?) terbukti tidak teteg terhadap segala bujuk rayu dan tipu muslihat.
Jadi, ketika masalah yang membelit Jawa telah demikian karut-marut, telah bersimpang selimpat, lagi-lagi, dari mana upaya untuk menyelamatkannya bisa dimulai? “Dari pendidikan!” kata Supriadi Rustad, guru besar fisika yang pernah mengkidmati Gunung Merapi sambil menambahkan, “Sekarang juga.”
Pesona terhadap Jawa, bagi kolonial Belanda, di samping rempah-rempah —sesuatu yang selalu disebut dalam pelajaran sejarah di sekolah— adalah hasil hutan. Berabad-abad sebelumnya, tak ada masalah dengan ekosistem di Jawa. Selain jumlah penduduknya relatif rendah dibandingkan dengan sekarang, kawasan hutan serta pegunungan tidak banyak yang beralih fungsi.
Namun kawasan hutan Jawa beralih fungsi semenjak kongsi dagang Belanda melakukan eksploitasi alam di Jawa dengan mendirikan perkebunan-perkebunan di daerah kawasan hutan. Malahan, disusul dengan pendirian perusahaan milik kolonial yang melakukan eksploitasi hutan alam di Jawa.
Lambat laun, kebijakan terhadap hutan di Jawa sebagai penyangga ekosistem pulau yang sangat rentan dengan perubahannya ini kian kikis. Makin pudarlah anggapan bahwa ekosistem di Jawa harus tetap dijaga agar tidak terjadi perubahan kondisi alam yang drastis. Hutan yang semestinya menjadi penjaga utama ekosistem telah diporakporandakan fungsinya akibat nafsu untuk mengeksploitasi. Menghidupi segelintir orang, namun mematikan dalam jumlah tak berbilang. Mengenyangkan “masa kini” namun siap membunuh “masa depan”.
Hutan memang pambukaning warana atas “penyakit akut” yang diidap Jawa yang paling kasat mata. Sebagai tirai pembuka, pastilah ia bisa memampangkan, betapa komplikasi penyakit lain itu telah menggerogoti setiap organ yang ada di tubuhnya, dan celakanya sakit itu lebih-lebih telah merambah pada jiwa.
Maka, kini Jawa benar-benar membutuhkan jiwa-jiwa yang sehat para penghuninya. Jawa sudah menunjukkan kemampuannya untuk selalu momor-momot, namun sepanjang sejarah peradaban (dan kebiadabannya?) terbukti tidak teteg terhadap segala bujuk rayu dan tipu muslihat.
Jadi, ketika masalah yang membelit Jawa telah demikian karut-marut, telah bersimpang selimpat, lagi-lagi, dari mana upaya untuk menyelamatkannya bisa dimulai? “Dari pendidikan!” kata Supriadi Rustad, guru besar fisika yang pernah mengkidmati Gunung Merapi sambil menambahkan, “Sekarang juga.”