Mengembangkan Kecerdasan Moral Anak

nilah salah satu tanggung jawab kita sebagai orang tua. Kalau tidak, si kecil akan sembarangan menyerap sistem nilai dari lingkungannya.
Bapak-Ibu mungkin pernah mendengar istilah kecerdasan moral. Bila dikaitkan dengan teori multiple intelligent -nya Gardner, sebenarnya kecerdasan moral sudah termasuk. Misal, dalam hal kemampuan interpersonal. Bukankah untuk bisa menjalin hubungan secara efektif, maka seseorang harus memiliki, antara lain tata krama pergaulan?
Dengan demikian, kecerdasan moral, bukan cuma perlu tapi malah wajib dikembangkan. Terlebih lagi, tingkah laku yang manis dan sopan atau sesuai aturan norma yang berlaku, tak akan muncul dengan sendirinya dari dalam diri anak, melainkan harus diajarkan. "Tak ada nilai yang terbentuk secara interen atau ada pada diri seseorang," ujar dra. Rostiana , Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta.


SEJAK KENAL LINGKUNGAN
Menurut Rostiana, setiap manusia dilahirkan dalam kondisi buruk sehingga harus disosialisasikan. Selain itu, manusia juga membutuhkan orang lain, tak bisa hidup sendiri. "Nah, dalam upaya memperoleh bantuan dari orang lain itulah, maka ada tata caranya, ada aturan-aturan agar setiap orang bisa mencapai tujuannya. Aturan ini secara budaya akhirnya dikenal sebagai norma," terangnya. Norma tersebut akan sampai kepada individu melalui 3 hal, yaitu sosialisasi, internalisasi, dan identifikasi. "Ketiga hal tersebut dimulai sejak dini, sejak anak mulai berinteraksi dengan lingkungan."
Bukankah sosialisasi terjadi saat anak mulai mengenal lingkungan di luar dirinya? Entah lingkungan di dalam maupun di luar rumah, "Tapi terutama lingkungan di dalam rumah, karena itulah dasarnya. Saat itulah basic trust terbentuk. Dari bayi sampai usia setahun, ia mulai belajar dirinya berharga atau tidak. Di sini ia mulai mengembangkan bagaimana caranya agar ia eksis di lingkungannya." Tentunya, untuk bisa eksis akan banyak tuntutan yang harus ia terima. Di antaranya, aturan, baik yang tertulis maupun tidak. Namun bagi anak, tak masalah apakah aturan itu tertulis atau tidak. Yang penting, apa yang sampai kepadanya. "Nah, proses sampai kepada dirinya itu dinamakan internasilisasi."
Selanjutnya, ia akan menyerap melalui proses imitasi dari orang-orang terdekatnya, yaitu figur-figur yang bermakna buatnya; entah ibunya, ayahnya, kakaknya, atau malah pengasuhnya. "Dari proses imitasi inilah muncul identifikasi; ia mencoba meniru apa yang dilakukan orang dewasa yang ia pilih dan mempunyai makna buatnya. Biasanya figur tersebut adalah orang tua atau kakak." Itulah mengapa, sejak anak mulai mengenal lingkungan, pembentukan norma atau moral menjadi sangat penting. Namun kendalanya, terang Rostiana, "cara berpikir anak masih sangat simpel karena ia masih dalam tahap berpikir praoperasional, yang segala-galanya harus konkret."
Ia pun belum bisa berpikir secara rasional sehingga imajinasi dan sesuatu yang nyata bercampur-aduk jadi satu. Makanya, ia masih sering berkhayal tapi merasa nyata. "Di sini tahap paling kritis bagi anak." Kecuali itu, pada masa prasekolah, "secara fisik, pembentukan otak mulai mantap tapi ia belum bisa menggunakan potensinya itu, masih dalam proses belajar, sehingga hanya secara fisik saja ia siap." Ibarat orang berjalan, ia masih timpang. Dengan demikian, ia masih sangat sensitif. Kalau ia tak bisa mencerna lingkungannya, ia akan jadi anak temper tantrum ; gampang mengamuk atau marah bila keinginannya tak dituruti. Tapi bila keinginannya dipenuhi, jadilah perilakunya itu sebagai perilaku yang benar, yang menjadi sistem nilainya.

KONSEP BOLEH TAK BOLEH
Nah, agar ia tahu aturan, kecerdasan moralnya harus dikembangkan. Tentu secara bertahap. Anjur Rostiana, mulailah dari konsep boleh-tak boleh, bukan dari konsep salah-benar karena anak belum mengerti apa itu salah dan benar. "Tapi kalau sesuatu boleh dan tak boleh dilakukan, akan lebih mudah diterima oleh konsep berpikirnya." Selanjutnya, bila ia dimarahi karena melakukan hal yang tak boleh, barulah ia tahu bahwa itu salah. Tapi jangan lupa, lo, aturannya harus jelas. Misal, "Kakak enggak boleh meludah sembarangan." Kalau ia tanya, "Kenapa, Ma?", jelaskan alasannya. "Dari sini orang tua bisa masuk pada konsep sopan dan tak sopan."
Dalam kultur Timur, konsep sopan dan tak sopan merupakan norma pertama, baru kemudian konsep benar dan salah. Namun begitu, "jangan langsung katakan bahwa ia tak sopan karena ia tak bisa langsung menangkap apa itu sopan." Jadi, penjelasannya harus secara konkret dulu. Misalnya, "Itu enggak boleh karena ludah mengandung kotoran." Kendati secara kultur bukan karena kotorannya yang penting, melainkan sopan dan tak sopan. Baru kemudian dilanjutkan, "Itu juga enggak sopan kalau Kakak meludah sembarangan."
Dengan demikian, ia akhirnya akan mengkaitkan yang baik dan sopan itu kalau enggak meludah sembarangan. "Nah, hal ini konkret buat anak." Contoh lain, "Kakak enggak boleh lewat begitu saja di depan orang tua. Itu enggak baik. Yang baik itu kalau lewat di depan orang tua, jalannya dengan menunduk. Itu yang sopan." Ia akan mengkaitkan bahwa yang baik dan sopan itu kalau lewat di depan orang tua dengan menunduk.
Jadi, Bu-Pak, jangan cuma asal melarang tapi juga menjelaskan kenapa enggak boleh dan kenapa boleh, agar anak tak bingung. Disamping, ia menyerap konsep boleh dan tak boleh untuk dikembangkan pada konsep benar dan salah. "Nah, kita, kan, hendak membenahi sistem nilai yang salah, jadi ia perlu memperoleh kejelasan supaya tahu persis kenapa boleh dan kenapa tak boleh sehingga ia lebih menyerap," tutur Rostiana.
Contoh lain lagi, saat bertamu. Terangkan dengan jelas, "Kakak tak boleh berlarian ke sana ke mari. Itu enggak baik dan enggak sopan dilakukan di rumah orang." Terangkan pula apa yang boleh, misalnya, "Yang boleh dilakukan kalau ke rumah orang adalah duduk. Jika dikasih minum, bilang terima kasih. Kalau Kakak mau minum, bilang permisi dulu. Itu namanya sopan."
Dengan demikian, konsep sopan santun dan boleh-tak boleh ini akan mudah terserap olehnya. Tentu memberi tahunya sebelum berangkat bertamu, menjelang situasi yang akan ia jumpai. "Jangan terlalu awal memberi tahunya, misal, beberapa minggu sebelumnya. Ia akan cepat lupa. Tapi kalau sesaat sebelum pergi, ia akan mudah mengingatnya." Yang jelas, konsep norma harus terus-menerus diberikan kepada anak, sehingga semakin hari semakin banyak konsep norma yang tertanam dalam dirinya.

KONSEP BENAR SALAH
Selanjutnya, bila ia melanggar hal yang tak boleh, harus ada konsekuensinya berupa punishment . Sebaliknya, bila ia patuh, berilah reward . Nah, dari sini ia akan belajar tentang konsep benar-salah. Bukankah dengan mendapat konsekuensi, ia jadi tahu bahwa sesuatu itu salah atau benar?
Kalau ia mendapat pujian karena tingkah lakunya, berarti apa yang dilakukannya itu benar. Tapi kalau tingkah lakunya itu mendapatkan punish, berarti ia salah. Tentu perihal salah-tidaknya perilaku si anak harus diberi tahu orang tua. Misalnya, selama bertamu ia duduk dengan manis dan sopan, ia pun permisi dulu saat hendak main. Nah, sepulang bertamu, kita harus menjelaskan, "Tadi perilaku Kakak itu benar. Mama bangga karenanya. Nanti kalau bertamu lagi ke rumah orang lain harus seperti itu, ya."
Dengan demikian, ia mendapat masukan langsung, apa itu yang benar dan salah. Kita pun bisa mengkaitkan konsep benar-salah dengan konsep kejujuran, keadilan, persaudaraan, dan menghormati orang lain. "Tinggal orang tua mau menanamkan konsep mana yang utama untuk anaknya," ujar Rostiana. Jadi, bila Ibu-Bapak ingin si kecil punya prinsip yang kuat, menghargai kejujuran, keadilan, dan menghargai orang lain, maka itulah yang harus terus-menerus secara konsisten ditanamkan kepadanya.

NILAI NETRAL
Penanaman nilai-nilai moral, tutur Rostiana, akan lebih mudah terserap oleh anak bila dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. "Sampai nanti ia berusia 10 tahun, apa yang kita sampaikan akan membentuk sistem nilai tersendiri. Selanjutnya, sistem nilai ini akan membentuk dalam dirinya hingga ia besar nanti."
Dengan demikian, bila orang tua tak mengajarkan nilai-nilai, anak akan menyerap sembarangan sistem nilai yang ia dapat dari lingkungannya, sehingga sistem nilai yang terbentuk dalam dirinya juga enggak kuat. Padahal, ada sistem nilai yang sangat sentral dalam diri seseorang dan sangat mempengaruhi tingkah lakunya. Di antaranya, kejujuran.
"Jika nilai itu terus-menerus ditanamkan, akan membentuk sistem nilai yang sentral. Walau ada uang menggeletak di mana pun, kalau ia mau menggunakannya maka ia akan minta izin dulu. Sekalipun uang itu tergeletak di lantai, misalnya." Tapi jangan langsung mengkaitkan nilai kejujuran dengan konsep agama, ya, Bu-Pak. Misal, mencuri itu berdosa. "Ia belum bisa menangkap karena ia tak mengerti apa itu dosa. Lebih baik dikaitkan dengan untung-ruginya bagi orang lain."
Misal, "Coba kalau Kakak punya uang Rp. 500 yang ingin sekali Kakak pakai untuk beli susu kedelai, tapi tiba-tiba uang itu dicuri orang. Nah, bagaimana perasaan Kakak ? Wah, berat juga, ya, Bu-Pak, tugas kita dalam mengembangkan kecerdasan moral anak.  

BELAJAR DARI TV
Anak biasanya suka sekali nonton TV. Kita bisa memanfaatkan media ini untuk menerangkan pesan moral yang tertangkap dari tayangan yang ditonton anak. Itulah mengapa, para ahli selalu menganjurkan orang tua agar mendampingi anak selagi menonton TV. "Jadi, bukan hanya sekadar duduk menonton, tapi juga membahas apa yang ingin disampaikan dari tayangan tersebut," ujar Rostiana. Kala menonton berita kekerasan, misalnya, "orang tua bisa mengatakan bahwa perbuatan itu sadis dan terangkan apa itu perilaku sadis yang dikaitkan dengan sistem moralnya." Misal, "Sadis itu perilaku yang salah karena merugikan orang lain." Bila dari sosialnya sudah ketangkap oleh anak, selanjutnya kaitkan dengan nilai agamanya. Misal, "Oleh karena itu agama melarang perbuatan sadis." Dengan demikian, ia tahu bahwa agama mempunyai posisi yang lebih tinggi. Sarana lain yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan kecerdasan moral anak ialah bacaan, film, maupun situasi yang dijumpai kala jalan-jalan.

WASPADAI PENGARUH BURUK LINGKUNGAN HETEROGEN
 Menurut Rostiana , akan lebih mudah bila kita tinggal di lingkungan homogen ketimbang heterogen. Soalnya, di lingkungan homogen semisal kompleks perumahan, karakteristik orangnya juga cenderung homogen, sehingga akan lebih mudah bagi kontrol moral anak. "Sesama orang tua di lingkungan tersebut akan saling mengingatkan bila ada anak yang menunjukkan perilaku tak sopan atau salah."
Dengan demikian, ajaran yang diterima anak dari lingkungannya akan sama dengan ajaran yang diterima dari rumah. Tak demikian halnya di lingkungan heterogen, apa yang diajarkan lingkungan akan berbeda dengan yang diterima anak dari rumah. "Orang tua juga akan sulit mendeteksi dari mana perilaku tersebut diperoleh anak." Nah, agar si kecil terhindar dari pengaruh buruk lingkungan heterogen, Ibu-Bapak harus lebih sering berkomunikasi dengannya. "Kita, kan, enggak bisa mengontrol lingkungan. Jadi, anak kitalah yang kita kontrol. Caranya, ya, dengan komunikasi."
Jika ia sampai terpengaruh, misal, omong kasar/jorok atau duduk di atas meja, berarti kita harus kembali menjelaskan kepadanya, "bahwa tak semua hal yang ada di lingkungan itu baik." Terangkan dengan bahasa sederhana, misal, "Orang-orang itu enggak sama dengan Papa-Mama. Apa yang mereka lakukan itu sebenarnya enggak baik, tapi mereka enggak kasih tahu karena mereka sendiri enggak tahu bahwa itu sebenarnya salah."

KEJUJURAN DARI RUMAH
 Bila ingin si kecil jujur, mulailah dari rumah. Ibu-Bapak harus mengusahakan untuk berperilaku yang bisa ditangkap anak sebagai suatu kejujuran. Misal, Ibu atau Bapak capek pulang kerja dan tak mau menerima telepon. Jangan minta anak untuk berbohong dengan mengatakan Ibu/Bapak sedang pergi atau belum pulang, tapi katakan, "Hari ini Ibu capek sekali dan ingin istirahat. Nanti kalau ada telepon, bilang Ibu lagi istirahat, ya."
Alasan tersebut jelas dan tak mengada-ada karena Ibu/Bapak memang capek dan butuh istirahat. "Tapi harus benar-benar istirahat, lo, bukan malah pergi berjalan-jalan, misalnya," ujar Rostiana . Bila demikian, berarti sudah berbohong. Itulah mengapa, penting bagi orang tua untuk menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan kepada anak.

AJARKAN NILAI YANG SAMA PADA PENGASUH
 Supaya yang kita ajarkan kepada anak tak meleset terlalu jauh, saran Rostiana , sebaiknya kita juga mengajarkan nilai-nilai yang sama kepada pembantu atau pengasuh anak. Terlebih pada ibu-ibu bekerja yang sebagian besar waktu anaknya dihabiskan bersama si pengasuh, sehingga nilai-nilai moral si pengasuh pun akan terserap oleh anak. "Itulah pentingnya kita mencari pembantu ataupun pengasuh anak yang mempunyai konsep nilai sepaham dengan kita. Paling tidak, kita ajarkan agar sama."
Nova

No comments: