Populasi dunia telah mencapai tujuh miliar jiwa, dan jarak tiap kenaikan satu miliar melesat lebih dari 10 kali sejak jarak kenaikan miliar pertama ke miliar kedua (1804-1927). Namun, hak-hak dan kesehatan reproduksi dan seksual atau RSHR masih terus dipinggirkan.
Peningkatan menjadi dua miliar dari satu miliar penduduk dunia tahun 1804 butuh 123 tahun pada tahun 1927. Akan tetapi, hanya butuh 12 tahun dari enam miliar menuju tujuh miliar, pada 31 Oktober 2011.
Masalah kependudukan tak bisa dipisahkan dari RSHR. Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo, Mesir, tahun 1994 secara eksplisit mengaitkan kesehatan reproduksi dan seksual dengan hak asasi manusia.
Persoalannya, kata ’reproduksi’ dan ’seksual’, ditambah ’hak’, dan dikaitkan dengan orang muda, mengandung konotasi negatif. Benturan antara moral (agama) dan realitas sosial membuat RSHR menjadi wilayah kontestasi paling serius.
Dalam konteks itu, Konferensi Asia-Pasifik ke-6 mengenai Hak-hak dan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (APC RSHR ke-6) di Yogyakarta, 19-22 Oktober 2011, menjadi penting. Apalagi dalam Laporan Tahunan Yayasan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Aktivitas Populasi (UNFPA) 2011, The State of World Population: People and Possibilities, terlihat kecenderungan penuh paradoks.
Penduduk dunia akan terus bertambah meski angka pertumbuhan penduduk ditekan. Penduduk dengan usia di bawah 25 tahun jumlahnya mencapai 43 persen dari populasi, bahkan di beberapa negara mencapai 60 persen.
Terus diabaikan
Menurut Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional Sugiri Syarief, upaya memecahkan masalah terkait kesehatan reproduksi dan seksual, disertai promosi keadilan jender dengan prinsip non-diskriminasi, kesetaraan dan kewajiban negara adalah komponen penting dalam upaya penghapusan kemiskinan.
Namun, seperti dikemukakan Ketua Panitia APC RSHR, Dr Muhajir Darwin, Negara tak banyak berbuat untuk memecahkan masalah terkait kesehatan reproduksi orang muda. Kalau- pun ada, tindakan itu tidak melindungi hak-hak dan martabat korban. ”Cara pemerintah menanggapi persoalan terkait masalah seksual lebih berbasis pada ’salah dan malu’,” tegasnya.
Tak mengherankan kalau pemerintah gagal melindungi warganya dari infeksi seksual menular, termasuk HIV/AIDS, dan gagal melindungi perempuan dari kematian karena praktik aborsi tak aman.
Menurut Direktur Eksekutif UNFPA (1987-2000) Dr Nafis Sadik, Asia merupakan rumah bagi separuh orang muda berusia 15-24 tahun. ”Kemampuan mereka membuat keputusan secara bebas dalam menentukan besarnya keluarga akan menentukan masa depan kawasan ini.”
Ironisnya, banyak pemerintah mengabaikan kelompok besar orang muda. ”Pertumbuhan ekonomi mengubah banyak hal, tetapi dalam soal hak dan kesehatan reproduksi dan seksual, orang muda tidak dapat informasi dan pelayanan memadai. Pihak paling menderita adalah anak perempuan dan perempuan muda, tetapi berdampak pada seluruh perkembangan di kawasan ini.”
Di banyak negara, separuh perempuan muda menikah sebelum usia 18 tahun. Implikasinya serius, tegas Dr Sadik. Risiko kematian saat melahirkan tinggi. Ketergantungan pada suami dan komunitas juga tinggi.
Saira Shameen dari Asian Pacific Resource and Research Centre for Women mengingatkan, isu pengendalian kesuburan berkaitan dengan kekuasaan perempuan mengambil keputusan atas tubuhnya, maka perkawinan usia remaja, apalagi di bawah kuasa dogma, menghapus kebebasan perempuan. Ia juga menghadapi risiko kekerasan dan infeksi seksual menular.
”Berbagai survei menunjukkan, 90 persen infeksi HIV terjadi pada ibu rumah tangga yang hanya berhubungan seks dengan suaminya,” lanjut Dr Sadik.
Terus terabaikan
Menurut Dr Sri Kusyuniati, Kepala Perwakilan Rutgers WPF di Indonesia, lembaga internasional untuk isu RSHR, ”Tiga kali sensus penduduk mengindikasikan kemunduran. Rata-rata usia perkawinan semakin muda, 20 tahun, 18 tahun, dan rata-rata 15 tahun dalam Sensus Penduduk 2010. Di Belanda hasilnya terbalik. Pendidikan komprehensif soal seksualitas membuat orang muda tahu risiko dan tanggung jawab.”
Jumlah penduduk berusia 10-24 tahun di Indonesia, kata Kepala Perwakilan UNFPA di Jakarta, Jose Feraris, mencapai 64 juta, atau 27 persen dari populasi, tetapi kecil aksesnya pada informasi, pendidikan, pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari mengingatkan maraknya kasus trafficking, korbannya para gadis dan perempuan muda.
Forum orang muda dalam APC RSHR mengungkapkan, angka kelahiran di kalangan remaja mencapai 53,7 di Asia Selatan (53,7 kelahiran dari 1.000 perempuan berusia 15-19 tahun) dan 40,4 di Asia Tenggara.
International Herald Tribune (9/12/2010) melaporkan ratusan bayi yang ditinggalkan di tempat-tempat umum di Malaysia, empat tahun terakhir. Sebagian besar bayi itu diduga dilahirkan oleh remaja.
Fransicso Dela Tonga dari Filipina mengungkapkan,Gereja Katolik Filipina, melalui wakilnya di parlemen, terus menolak Rancangan Undang-undang Kesehatan Reproduksi yang mempromosikan kesehatan reproduksi dan pendidikan seksual dalam sistem pendidikan.
”Pengabaian ini harus diakhiri,” tegas Ketua Jaringan Orang Muda Federasi Keluarga Berencana Internasional Kawasan Asia Selatan, Sfefa Ahmed. Ia menyerukan pendidikan seksualitas yang komprehensif bagi anak muda, pelayanan kesehatan yang ramah, dan pengakuan pada keberagaman pada anak muda, termasuk keberagaman orientasi seksual.