Google Terima 75.000 Pelamar Seminggu

Free Image Hosting at www.ImageShack.us

Google telah menerima lebih dari 75 ribu aplikasi lamaran kerja hanya dalam seminggu, sebuah rekor bagi perusahaan raksasa mesin pencari.

Google dibanjiri ribuan lamaran setelah pekan lalu mengumumkan akan mempekerjakan 6 ribu karyawan tahun ini.

Google akan meningkatkan layanan mobile-nya, tampilan iklan dan aplikasi Internet. Google juga menghadapi saingan ketat dari Facebook dan Apple untuk mencari pengguna dan bakat kreatif.

"Kami sedang mencari bakat terbaik," kata Alan Eustace, wakil senior presiden dalam rekayasa dan penelitian pekan lalu dalam sebuah blog.

"Kami akan mempekerjakan banyak orang-orang cerdas dan kreatif yang dapat mengatasi beberapa tantangan berat dalam ilmu komputer: seperti membangun sebuah sistem operasi berbasis web dari awal, langsung mencari indeks lebih dari 100 juta gigabyte bahkan mengembangkan mobil yang berjalan sendiri."

Telegraph melaporkan, jumlah aplikasi kerja saat ini melebih aplikasi Google sebelumnya pada Mei 2007.

Menghadapi Hari Kematian Internet

Sekarang ini, semua sudah terhubung dengan internet. Di banyak hal memang benar-benar membantu kita di kehidupan, terutama cara berkomunikasi dan berinteraksi. Tidak hanya berinteraksi dengan sesama manusia, tapi juga berinteraksi dengan non-human, mesin, atau sebuah sistem.
Kita jadi berinteraksi dengan banyak orang dalam waktu yang lebih singkat dan paralel. Informasi masuk ke diri kita dengan sangat cepat dan dalam pecahan yang kecil-kecil. Otak kita jadi terlatih untuk menerima arus informasi dalam jumlah banyak secara bersamaan. Contoh nyatanya adalah Twitter.

Seperti inilah komunikasi jaman sekarang. Kita harus pintar-pintar memilih pecahan informasi kecil mana yang penting untuk disimpan dalam memori kita. Atau hal-hal apa yang sebenarnya tidak ada kepentingannya dengan kita tapi menguras energi dan waktu kita.

Kenyataan yang Maya

Apakah kamu familiar dengan skenario ini?

Bangun tidur ngecek timeline Twitter. Sambil nunggu sarapan beres, check email. Terus ngeliat foto-foto weekend unggahan temen kamu. Lalu twitteran lagi sambil sarapan.
Lalu begitu sampai di kantor langsung check-in Foursquare supaya title mayor enggak keambil oleh orang lain. Dan begitu seterusnya, orang lebih banyak menghabiskan waktu dengan menatap smartphone-nya dibanding dengan bertatap dengan orang lain secara langsung.

Ya memang dalam pekerjaan sehari-hari kita bertemu dengan real-people dan juga menghadapi real-problem. Tapi terkadang dunia maya di gadget kecil kita itu lebih menarik dari pada dunia nyata yang kita hadapi secara langsung. Alhasil orang lebih banyak lari ke dunia kecil yang indah untuk mengekspresikan atau bahkan menjadi seseorang yang tidak mungkin dia lakukan di dunia nyata.

Karena kesehariannya sudah berjalan rutin seperti itu lama-kelamaan orang menjadi terbiasa dan nyaman. Atau mungkin kata yang lebih tepatnya: ketergantungan.

Hari Kematian Internet Tiba

Apa yang harus kita persiapkan pada saat hari kematian Internet tiba? Setelah selama beberapa tahun belakangan ini kehidupan kita dimanjakan oleh kecanggihan dan kemudahan oleh teknologi, apa saja yang telah direnggut oleh internet dari kehidupan kita? Hal nyata apa yang telah hilang dan digantikan oleh kode-kode digital?

Secara tidak sadar dan pelan orang telah mengganti cara hidupnya selama 10 tahun belakangan ini. Contoh paling simplenya adalah menulis. Berapa banyak dari kita orang dewasa yang sudah merasa kaku untuk menulis tangan karena selama ini tidak pernah menulis di atas kertas lagi. Surat menyurat melalui email, berhitung menggunakan kalkulator, berbicara menggunakan instant messenger service, dsbnya. Peran mulut untuk berbicara telah tergantikan oleh 10 jari yang menari di atas keyboard, dan banyak hal lainnya.

Apa yang bisa dilakukan untuk kembali hidup seperti masa lalu lagi secara analog?

No Google!
Ini adalah sila pertama dalam peraturan dasar hidup analog. Tidak menggunakan layanan Google sama sekali, mulai dari search engine, email, map, earth, picture, dan semuanya yang Google sediakan.

Untuk mencari tau mengenai suatu hal kita gak bisa menggunakan search engine. Kamu harus mulai mencoba mencari suatu hal dengan usaha kamu sendiri, dan dengan bertanya ke manusia lain secara real. Yang ditantang disini adalah kemampuan kamu dalam bersosialisasi dengan orang baru secara nyata untuk mendapatkan informasi. Bisa juga dengan mendatangi perpustakaan dan mencari pecahan informasi dalam deretan buku-buku yang ada disana.

Kalau selama ini kita terbiasa tinggal memasukan nama tempat atau jalan untuk melihat peta, maka pada hari kematian internet kita harus kembali menggunakan peta biasa. Harus bisa mencari lokasi peta dan menelusuri jalan yang tersebar pada ratusan lembar halaman.

Langganan surat kabar.

Karena sudah tidak bisa browsing internet lagi maka kamu harus langganan surat kabar supaya enggak ketinggalan berita sehari-hari. Yang penting adalah langganan koran pagi dan sore, karena untuk koran pagi kamu bisa baca apa yang terjadi kemarin sore hingga malem, dan koran sore untuk yang terjadi dari pagi hingga siang. Yah semua beritanya sih telat 1 hari, setidaknya kamu sudah bisa ikut dalam pembicaraan sehari-hari. Efeknya adalah waktu akan terasa lebih lambat dan lebih panjang karena informasi yang kita dapat tidak terlalu deras.

Keluar dari semua social networking platform.
Hapus semua account Twitter, Facebook, MySpace, FourSquare, Koprol, dan lainnya. Mulai coba hidup dengan tenang tanpa tahu teman kamu hari ini ngeluh apa dalam perjalanan pulang kantor yang macet. Kamu juga enggak perlu tahu teman kamu sarapan apa pada pagi harinya, dan informasi-informasi lain yang sebenarnya tidak kamu butuhkan. Kamu pasti akan lebih fokus dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari yang utama tanpa distraction tersebut.

Untuk menghubungi seseorang akan butuh usaha lebih dari sekedar PING!! dan mention. Manusia akan kembali berbicara menggunakan mulut dan suaranya, tidak lagi dengan text dan jarinya.

Kalau udah berpergian rasanya seperti lepas dari manapun. Perjalanan dari rumah menuju tempat nongkrong rasanya kaya jalan sendirian di terowongan sunyi yang dindingnya rapat semua. Baru bisa dihubungi apabila sudah stay di sebuah tempat. Mau kabur sejenak untuk mewujudkan me time rasanya gampang banget.

Sign out dari e-mail.

Bikin PO Box atau alamat rumah saja untuk urusan surat menyurat. Dan supaya gak numpuk sampah, bikin satu lagi PO Box khusus brosur-brosur iklan atau promosi yang gak penting untuk supaya langsung dibuang ke sampah. Prinsipnya semacam bikin account/folder khusus spam di email kamu supaya langsung di trash. Siapkan folder untuk menyimpan kertas-kertas dan dokumen yang dikirim ke rumah kamu.

Album foto.

Buat kita yang hobi foto mungkin upload ke Facebook adalah hal yang paling mudah dan nyaman. Semua foto bisa kita upload sebanyak apapun tanpa mengeluarkan biaya lagi. Apabila internet sudah mati, maka untuk masalah foto ini akan kembali menjadi hal yang mahal dan butuh banyak biaya, untuk cetak dan untuk menyimpannya dengan baik di dalam album foto. Foto akan menjadi barang yang value-nya lebih spesial dan pribadi karena tidak akan mudah lagi untuk diperbanyak seperti halnya foto digital.

No copy-paste ucapan.
Persetan dengan sms-sms copy paste yang membuat handphone kamu lemot pada hari raya. Kartu-kartu ucapan yang sifatnya pribadi dan intim dengan tulisan tangan yang sangat personal. Membuat kamu merasa lebih dihargai dan hari raya menjadi lebih berarti.

Well, kalau dilihat-lihat, sebenarnya hari kematian internet bukan berarti kiamat. Kita mungkin akan merasa kesusahan karena internet sudah membuat kita mudah dalam banyak hal, tapi di lain sisi juga, nilai-nilai kehidupan akan menjadi lebih nyata dan lebih mendalam bagi banyak orang.

Semoga kita semua sudah siap apabila hari itu datang.


sumber : http://id.omg.yahoo.com

Kebahagiaan Yang Tersembunyi

Free Image Hosting at www.ImageShack.us
Suatu saat saya mengikuti sebuah retreat dimana kita melatih hidup berkesadaran. Yang dilatih sangatlah abstrak: melatih kesadaran. Dimulailah kita melatih sadar bernapas. Bayangkan saja, setelah sekian lama hidup, di retreat tersebut saya dan seluruh peserta melatih kesadaran bernapas. Saya pikir agak lucu juga repot-repot ikut retreat, kok dilatih bernapas dengan sadar. Akhirnya dengan pasrah, saya kemudian melatih napas dengan sadar pada retreat tersebut. Napas masuk, napas keluar, semua dilakukan dengan sadar. Sadar disini bukan berarti napas yang dibuat-buat, tapi maksudnya adalah diamati dengan sadar.

Ditengah-tengah latihan tersebut, tiba-tiba dalam hati saya timbul sebuah rasa yang saya tidak pernah rasakan; betapa nikmatnya saya bisa bernapas. Saya sendiri sampai merasa geli sendiri bahwa pada saat itu tiba-tiba timbul rasa syukur atas nikmatnya bernapas. Saya jadi ingat ayah saya yang seumur hidupnya sering sekali menderita asma, dimana pada saat asma menyerang, napas menjadi sebuah usaha yang menyakitkan oleh karena rasa sulit bernapas akibat sesak. Ayah saya menggantungkan dirinya dengan obat-obat asma, sementara saya bisa melakukan napas dengan ringan tanpa usaha dan bantuan apapun. Indah dan nikmat sekali bisa bernapas.

Saya kemudian menjalani retreat tersebut dengan tekun dan tanpa pengharapan apa-apa. Ternyata, sambil latihan bernapas secara sadar, selain timbul rasa beryukur bahwa saya bisa bernapas dengan lancar, timbulah rasa syukur lainnya. Begitulah yang terjadi, hingga saya mengerti mengapa kesadaran bisa dilatih dengan cara melatih napas dengan berkesadaran. Sambil berlatih mengamati napas dengan sadar, ada timbul rasa dalam diri saya, betapa nikmatnya hidup ini, bahwa semua yang saya perlukan sebetulnya sudah disediakan oleh hidup. Bahkan saya sempat merasa konyol ditengah-tengah latihan tersebut, bahwa saya merasa bisa bersyukur sekali saat itu hanya untuk bisa duduk sambil menutup mata dalam suasana tenang. Kok bisa indah dan damai ya. Rasa bahagia yang biasa rasanya susah saya dapatkan, rasa bahagia yang penuh persyaratan yang saya pikir hanya bisa didapat dengan usaha keras, ternyata sekonyong-konyongnya datang kesaya saat saya duduk diam, menutup mata, dan mengamati napas saya. Kebahagiaan tanpa syarat.

Ternyata semua rasa syukur itu tumbuh dari melatih kesadaran. Jujur saya sampai bodoh dan geli sendiri karena perasaan-perasaan ini terasa ‘aneh’, karena biasa kita bersyukur kalau dapat uang, dapat perkerjaan, dapat rejeki, tapi bukan dari bahwa kita masih bisa bernapas dengan lancar. Begitu bersyukurnya sampai saya merasa hidup itu indah hanya karena saya bisa menikmati diri saya yang sedang bernapas ini.

Ternyata itulah salah satu hasil yang saya dapat dari berlatih kesadaran. Saya rasa, jika kita sering melatih kesadaran, kita akan menemukan  damai  dibalik semua pikiran dan perasaan kita. Dengan melatih hidup berkesadaran, saya jadi bisa menikmati hidup sampai kepada hal-hal yang sangat sederhana seperti mensyukuri napas yang bisa saya lakukan dengan lancar. Saya bisa menyukuri nikmatnya duduk menutup mata menikmati kesunyian. Saya bisa menikmati indahnya matahari,hujan, dan udara disekitar saya. Saya bahkan bisa menikmati kesulitan dan tantangan kehidupan yang saya lalui. Saya menikmati perjuangan hidup yang dijalani. Bahkan akhirnya berbagai hal-hal yang rasanya menganggu, menyakitkan, berat, menantang dan sulitpun saya tetap  bisa  menemukan rasa syukur di dalamnya. Saya bisa menikmati keberadaan diri saya, tanpa syarat apa-apa. Luar biasa.

Kenapa Kita Belajar?

Free Image Hosting at www.ImageShack.us
Tuhan melengkapi manusia dengan berbagai kemampuan, bukan agar manusia berdiam diri, tapi agar manusia sadar dan berkembang. Dan dengan kemampuan kita sebagai manusia, sebaiknya tidak kita sia-siakan, karena kita diberi kemampuan untuk selalu menjaga kehidupan. Pengetahuan dan ilmu pengetahuan tidak saja membuat kita dapat melangsungkan kehidupan, tetapi juga menjaga kehidupan dan merekreasikan kembali kehidupan, memberi kehidupan untuk terus melakukan regenerasi.

Belajar juga merupakan cara kita membaktikan diri kepada hidup, jika pengetahuan dan ilmu pengetahuan yang kita pelajari dapat meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang nurturing, bukan dengan cara yang menghancurkan. Untuk saya, belajar dan pengaplikasiannya terhadap berbagai sisi kehidupan saya, membuat saya berkembang sebagai manusia yang semakin utuh setiap harinya. Belajar bagi saya juga merupakan cara kita bersyukur, cara kita merawat kehidupan. Karena tanpa belajar dan tanpa penerapan dan pengolahan dari apa yang kita pelajari, hidup bisa mengalami stagnasi, dan berbagai hal bisa mengalami kerusakan dan kehancuran dalam hidup. Dengan kerap belajar, dan kerap mengaplikasikan olahan dari apa yang kita pelajari, nadi kehidupan terus berjalan.

Belajar, harus disertai tujuan yang jelas. Ada yang belajar untuk tujuan hobi, mengisi waktu luang. Ada juga yang belajar agar ilmunya bisa dipakai di dunia bekerja, untuk penghidupan dan untuk mempunyai kualitas kehidupan (misalnya dari segi ekonomi) yang baik bagi diri sendiri maupun keluarga. Setiap orang mempunyai alasannya sendiri untuk belajar. Semua sah-sah saja. Namun memang akan lebih baik jika apa yang kita pelajari berguna untuk meningkatkan kualitas hidup kita maupun kualitas hidup orang lain, apakah itu keluarga, sahabat atau masyarakat. Ilmu dan ilmu pengetahuan hendaknya memberi manfaat bagi kehidupan.

Belajar tidak cukup berhenti dalam pencapaian akademis. Agar apa yang dipelajari berguna, kita harus mengolah apa yang dipelajari agar bisa digunakan dalam konteks kehidupan kita. Apakah itu untuk kehidupan dunia kerja, dan kehidupan lainnya. Jika ilmu dan ilmu pengetahuan yang kita pelajari tidak kita olah, maka ilmu dan ilmu pengetahuan tersebut bisa menjadi tidak relevan dengan konteks kehidupan kita. Setelah belajar, harus ada kemampuan untuk mengolah ilmu dan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari, karena konteks kehidupan sangat beragam. Kemampuan mengolah berbagai hal yang telah dipelajari membutuhkan kemampuan analisa.

Setelah di olah dan di sesuaikan dengan konteks kehidupan yang sedang kita jalani, ilmu dan ilmu pengetahuan yang kita telah pelajari, kemudian dapat kita aplikasikan dalam konteks kehidupan kita. Pada saat kita aplikasikan tentu akan ada trial dan error.  Akan ada hal yang ternyata berhasil kita aplikasikan, ada hal yang ternyata tidak berhasil kita aplikasikan. Itu adalah hal yang alami dari sebuah proses. Ilmu dan ilmu pengetahuan yang telah di olah dan berhasil diaplikasikan, bisa kita pertahankan dan kembangkan, sambil melihat berbagai perubahan yang kerap terjadi. Penyesuaian terhadap berbagai perubahan akan selalu perlu kita lakukan. Ilmu dan ilmu pengetahuan yang sudah kita olah namun belum atau tidak berhasil di aplikasikan dalam konteks kehidupan kita, dapat kita evaluasi kembali agar dapat diperbaiki. Apa faktor yang membuatnya belum atau tidak berhasil.

Pada akhirnya hidup itu memang selalu berubah. Selalu berevolusi. Kita harus pandai menyikapinya. Belajar tidak akan ada gunanya jika kita kerap melakukan kesalahan dalam kehidupan. Seringkali kita melihat seseorang berpendidikan namun tidak cerdas dalam menyikapi hidup. Belajar bukanlah hanya untuk sebuah pencapaian akademis, tetapi, belajar hendaknya membuat kita menjadi manusia yang bijak. Bukan saja manusia yang sukses dalam karir. Tetapi, jika kita telaah, manusia yang sukses dalam bidangnya, ternyata mempunyai value atau nilai dasar kehidupan yang baik.

Coba saja kita membaca artikel tentang orang-orang yang sukses, biasanya mereka mempunyai nilai kehidupan yang mendasari kesuksesan mereka tersebut. Belajar jika disertai landasan atas nilai kehidupan, tentunya akan lebih baik dibanding belajar yang tidak didasari nilai dasar kehidupan. Jadinya seseorang bisa saja pintar, tapi tanpa dasar nilai kehidupan yang baik, apa yang dipelajari orang tersebut tidak membuat ia menjadi seseorang yang bijak, tidak membuatnya mempunyai kualitas hidup yang baik sebagai manusia seutuhnya. Kalau secara pribadi tidak bijak, apalagi dalam merespond situasi yang berkaitan dengan orang lain? Ilmu dan ilmu pengetahuan yang dipelajari seseorang sebaiknya meningkatkan kualitas terhadap dirinya dahulu, sebelum itu memberi manfaat bagi orang lain

Belajarlah, mengolah ilmu dan ilmu pengetahuan yang telah di dapat, dan menerapkannya dalam hidup, serta kerap mengevaluasi serta mengadakan penyesuaian dalam perkembangannya. Untuk itu kita perlu berproses. Jangan hanya mengabadikan ilmu dan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari sebagai pencapaian akademis yang dipajang dan dimasukan dalam lemari kaca untuk dipandang-pandang, namun tidak memberi peningkatan kualitas diri kita sebagai manusia yang utuh, yang menyatu dengan alam semesta.

Belajar, mengolah, mengaplikasikan, dan mengembangkan. Mengembangkan, menyesuaikan, menghidupi, dan merawat kehidupan. Dengan merawat kehidupan, kita dapat merekreasikan kembali kehidupan.

sumber : http://id.omg.yahoo.com