Seperti Lapangan Monas di Jakarta, Trafalgar Square di London, Lapangan Merah di Moskow dan tempat-tempat monumental lainnya di dunia, Lapangan Tahrir atau Lapangan Pembebasan dalam Bahasa Indonesia --belakangan Aljazeera menyebutnya Liberation Square demi menginternasionalikan krisis Mesir dan menarik perhatian dunia-- adalah juga tempat bersejarah dan menjadi pusat gerakan sosial politik terpenting di Mesir.
Lapangan Tahrir sudah lama menjadi episentrum gerakan-gerakan pembaruan dan sosial di Mesir sejak dibangun pada abad 19 lalu.
Lapangan yang dulu disebut Midan Ismaila sebelum para perwira revolusioner Arab pimpinan Letnan Kolonel Gamal Abdul Nasser mengubahnya pada 1952 menjadi Lapangan Tahrir atau Liberation Square dalam Bahasa Inggris, adalah titik pusat dari aksi rusuh 1977.
Saat itu, Presiden Anwar Saddat mengambil langkah kontroversial, yakni mengakhiri subsidi bahan makanan pokok rakyat Mesir, terutama roti dan minyak goreng.
Lapangan itu juga menjadi situs demonstrasi besar menggugat kekuasasan Muhammad Tawfik Pasha, pewaris terakhir dinasti Muhammad Ali pada 1881.
Lapangan Pembebasan juga menjadi situs paling penting dalam gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Inggris pada 1919.
"Yang membuat tempat ini istimewa adalah luasnya dan kedekatannya ke lembaga-lembaga penting Mesir dan kedutaan-kedutaan besar asing," kata Obada Kohela, profesor sejarah pada Universitas Kairo. "Di sinilah perlawanan terhadap seorang penguasa Mesir bermula," sambungnya.
Sementara demonstrasi besar yang terjadi sejak 25 Januari lalu telah menelan 100 nyawa, sekaligus menimbulkan keguncangan di pasar modal, pasar uang, dan pasar minyak dunia.
Para investor mengkhawatirkan gejolak di Mesir bakal menyebar ke seantero Arab dan bisa memicu ditutupnya Terusan Suez. Demonstrasi besar di Mesir juga dikhawatirkan menyeberangi Laut Merah menuju nebara-negara Teluk kaya minyak.
Negara tetangga Saudi Arabia yang terletak di ujung selatan Jazirah Arab, Yaman, juga tengah diguncang demonstrasi antipemerintah.
Mesir, berdasarkan klaim Kongres AS, adalah penerima bantuan luar negeri AS terbesar setelah Israel.
Posisi Mubarak juga vital bagi AS dan Israel, karena dia selalu menjadi penyokong utama kampanye pengakuan Arab atas negara Israel, penentang serius ambisi nuklir Iran, dan tokoh yang berperan besar dalam mengisolasi Hamas, kelompok perlawanan Israel paling fanatik dari kubu Palestina.
Raja Tutankhamun
Karima el-Hefnawy, seorang ahli farmasi yang turut dalam demonstrasi besar sejak pekan lalu di Lapangan Tahrir, mengatakan bahwa dia dan ribuan lain sewaktu mahasiswa dulu pernah ditahan menyusul demonstrasi mendukung perang melawan Israel pada 1972.
Dia berkata, waktu itu pun para demonstran memusatkan pergerakannnya di Lapangan Tahrir. Para demonstran ini juga menyerukan pembenasan dia dan ribuan rekan lainnya yang ditahan rezim.
"Malam itu di bawah ketiadaan komunikasi (yang layak seperti sekarang), semua orang Mesir menuju ke Lapangan Tahrir dan ironisnya kami dibebaskan seminggu kemudian," kenangnya.
Pada 2003, Lapangan Tahrir yang berada di depan bekas kampus utama Universitas Amerika di Kairo dan Mogama, yaitu pusat adiministrasi pemerintahan di Mesir, menjadi tempat utama demonstrasi menentang perang di Irak.
Kini, sejak 25 Januari 2011, Lapangan Tahrir kembali menjadi pusat gerakan, kali ini dari ribuan orang yang menyerukan diakhirinya kekuasaaan Hosni Mubarak.
"Demonstrasi di Lapangan Tahrir adalah sakit di tubuh bagian belakang pejabat-pejabat pemerintah," kata Mervat Helal, pegawai pajak real-estate.
Demonstrasi ini membatasi pergerakan para pegawai dan pejabat pemerintah karena demonstran menguasai pusat kota Kairo itu, sambungnya.
Menjadi salah satu jalur pertemuan lalu lintas di ibukota Mesir itu, Lapangan Tahrir menawarkan sebuah pusat kawasan hijau yang dikeliling jalan-jalan lebar.
Di dekat lapangan itu juga terdapat Museum Mesir, persis Museum Nasional di Jakarta yang menghadap Tugu Monas di Lapangan Monas.
Museum Mesir ini adalah tempat berkumpulnya benda-benda paling bersejarah, bukan hanya Mesir tapi juga dunia, termasuk topeng kematian Raja Tutankhamun yang termasyur itu.
sumber : http://www.antaranews.com/
Lapangan Tahrir sudah lama menjadi episentrum gerakan-gerakan pembaruan dan sosial di Mesir sejak dibangun pada abad 19 lalu.
Lapangan yang dulu disebut Midan Ismaila sebelum para perwira revolusioner Arab pimpinan Letnan Kolonel Gamal Abdul Nasser mengubahnya pada 1952 menjadi Lapangan Tahrir atau Liberation Square dalam Bahasa Inggris, adalah titik pusat dari aksi rusuh 1977.
Saat itu, Presiden Anwar Saddat mengambil langkah kontroversial, yakni mengakhiri subsidi bahan makanan pokok rakyat Mesir, terutama roti dan minyak goreng.
Lapangan itu juga menjadi situs demonstrasi besar menggugat kekuasasan Muhammad Tawfik Pasha, pewaris terakhir dinasti Muhammad Ali pada 1881.
Lapangan Pembebasan juga menjadi situs paling penting dalam gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Inggris pada 1919.
"Yang membuat tempat ini istimewa adalah luasnya dan kedekatannya ke lembaga-lembaga penting Mesir dan kedutaan-kedutaan besar asing," kata Obada Kohela, profesor sejarah pada Universitas Kairo. "Di sinilah perlawanan terhadap seorang penguasa Mesir bermula," sambungnya.
Sementara demonstrasi besar yang terjadi sejak 25 Januari lalu telah menelan 100 nyawa, sekaligus menimbulkan keguncangan di pasar modal, pasar uang, dan pasar minyak dunia.
Para investor mengkhawatirkan gejolak di Mesir bakal menyebar ke seantero Arab dan bisa memicu ditutupnya Terusan Suez. Demonstrasi besar di Mesir juga dikhawatirkan menyeberangi Laut Merah menuju nebara-negara Teluk kaya minyak.
Negara tetangga Saudi Arabia yang terletak di ujung selatan Jazirah Arab, Yaman, juga tengah diguncang demonstrasi antipemerintah.
Mesir, berdasarkan klaim Kongres AS, adalah penerima bantuan luar negeri AS terbesar setelah Israel.
Posisi Mubarak juga vital bagi AS dan Israel, karena dia selalu menjadi penyokong utama kampanye pengakuan Arab atas negara Israel, penentang serius ambisi nuklir Iran, dan tokoh yang berperan besar dalam mengisolasi Hamas, kelompok perlawanan Israel paling fanatik dari kubu Palestina.
Raja Tutankhamun
Karima el-Hefnawy, seorang ahli farmasi yang turut dalam demonstrasi besar sejak pekan lalu di Lapangan Tahrir, mengatakan bahwa dia dan ribuan lain sewaktu mahasiswa dulu pernah ditahan menyusul demonstrasi mendukung perang melawan Israel pada 1972.
Dia berkata, waktu itu pun para demonstran memusatkan pergerakannnya di Lapangan Tahrir. Para demonstran ini juga menyerukan pembenasan dia dan ribuan rekan lainnya yang ditahan rezim.
"Malam itu di bawah ketiadaan komunikasi (yang layak seperti sekarang), semua orang Mesir menuju ke Lapangan Tahrir dan ironisnya kami dibebaskan seminggu kemudian," kenangnya.
Pada 2003, Lapangan Tahrir yang berada di depan bekas kampus utama Universitas Amerika di Kairo dan Mogama, yaitu pusat adiministrasi pemerintahan di Mesir, menjadi tempat utama demonstrasi menentang perang di Irak.
Kini, sejak 25 Januari 2011, Lapangan Tahrir kembali menjadi pusat gerakan, kali ini dari ribuan orang yang menyerukan diakhirinya kekuasaaan Hosni Mubarak.
"Demonstrasi di Lapangan Tahrir adalah sakit di tubuh bagian belakang pejabat-pejabat pemerintah," kata Mervat Helal, pegawai pajak real-estate.
Demonstrasi ini membatasi pergerakan para pegawai dan pejabat pemerintah karena demonstran menguasai pusat kota Kairo itu, sambungnya.
Menjadi salah satu jalur pertemuan lalu lintas di ibukota Mesir itu, Lapangan Tahrir menawarkan sebuah pusat kawasan hijau yang dikeliling jalan-jalan lebar.
Di dekat lapangan itu juga terdapat Museum Mesir, persis Museum Nasional di Jakarta yang menghadap Tugu Monas di Lapangan Monas.
Museum Mesir ini adalah tempat berkumpulnya benda-benda paling bersejarah, bukan hanya Mesir tapi juga dunia, termasuk topeng kematian Raja Tutankhamun yang termasyur itu.
sumber : http://www.antaranews.com/
No comments:
Post a Comment