SOSOK pria yang berwibawa, suatu saat berjalan-jalan di pedesaan dan secara santun menyapa seorang perempuan petani yang sedang menjinjing bakul di pematang sawah subak (organisasi pengairan tradisional) di Bali.
Dalam bakul itu, berisi makanan untuk suaminya yang bekerja sejak pagi hari mengolah lahan dengan menggunakan bantuan dua ekor sapi. Pembicaraan akrab pun berlangsung antara dua insan tersebut.
Si pria ingin mengetahui menu makanan yang akan dihidangkan istri petani itu, berupa nasi campuran ketela serta sayur paku dicampur `kakul` (siput sawah).
Pria yang jalan-jalan menikmati suasana alam pedesaan itu pun dengan spontan mencicipinya, dan mengomentari bahwa makanan tersebut "sangat enak dan bergizi."
Itulah gambaran dialog non formal yang sering dilakoni Dr Ir. Soekarno, Proklamator dan Presiden pertama RI dengan masyarakat Bali, khususnya yang bermukim di sekitar Istana Negara Tampaksiring, 65 km timur laut Denpasar.
Gambaran itu, mencerminkan betapa dekat dan akrabnya seorang pemimpin negara dengan masyarakat kecil di pedesaan, tanpa terikat acara protokoler dan pengamanan ketat, yang kini lumrah dilakukan terhadap para pemimpin negara, kisah I Made Hardika (57) salah seorang sesepuh dari Keluarga Besar Ibunda Soekarno di Singaraja.
Anggota DPRD Bali dan kader PDI-Perjuangan Bali utara itu menuturkan, dirinya ketika masih anak-anak sering mengikuti ayah dan ibunya menghadiri undangan dari Bung Karno, baik di istana negara Tampaksiring maupun di kantor Gubernuran Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara) yang kala itu masih berkedudukan di kota Singaraja, sebelum pindah ke Denpasar pada tahun 1958.
Keluarga besar Soekarno dari pihak Ida Ayu Nyoman Rai, ibunya yang asal Bali itu, sering kali tinggal beberapa hari untuk menemaninya di Istana Tampaksiring.
Acara santai seperti itu sering dilakukan Bung Karno terhadap kerabat maupun masyarakat awam misalnya menghadiri jamuan makan malam sambil menyaksikan pementasan kesenian Bali .
"Setiap Bung Karno melakukan kunjungan ke Bali pasti menyempatkan diri bertemu dengan keluarga besar dan tidak pernah lupa akan `kawitan` silsilah asal usul keluarga," ujar Made Hardika yang juga pelukis serta seniman tari dan tabuh.
Meditasinya kuat
Bung Karno dalam kepribadiannya dikenal sebagai "Meraga sukma", yakni dapat melakukan komunikasi dengan alam gaib yang sering dilakukannya di tempat-tempat yang angker (keramat) di Pulau Bali.
Tempat-tempat keramat yang pernah dipakainya untuk bermeditasi hingga sekarang sering kali digunakan oleh banyak orang, baik dari Bali maupun luar Bali untuk tujuan yang sama.
Pantai Sanur misalnya, sebelum The Grand Bali Beach (GBB) berdiri, hotel berbintang pertama di Pulau Dewata yang dibangun dari dana pampasan perang Jepang itu, sangat dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
Hotel berlantai sepuluh yang dibangun atas gagasan Bung Karno itu, akhirnya berdiri megah di pantai Sanur tahun 1968 dan menjadi pionir bagi pengembangan pariwisata di Bali.
Hotel yang berklasifikasi bintang lima itu, salah satu kamarnya, yakni kamar 327 di lantai tiga disucikan, dalam arti tidak disewakan untuk wisatawan baik dalam maupun luar negeri.
Kamar yang dilengkapi berbagai fasilitas cukup lengkap itu dipelihara dengan baik, semua karyawan hotel dan kebanyakan orang `mempercayai` roh Soekarno ada di situ.
Bahkan Megawati Soekarnopoetri sering kali melakukan meditasi di kamar tersebut maupun mengadakan perjalanan "Ritual" di Pulau Dewata, tutur I Gusti Ngurah Sara, anggota DPR-RI.
Selain GBB Sanur, di istana Tampaksiring pun ada kamar khusus untuk "arwah Soekarno" yang kini hanya bisa dikunjungi oleh orang-orang tertentu.
"Tempat-tempat itu, kini menjadi saksi bisu bahwa Bung Karno senantiasa bermeditasi dan berkomunikasi dengan alam gaib," tutur Hardika yang neneknya Ni Made Latri (alm) bersaudara kandung dengan Ida Ayu Nyoman Rai, ibunda Bung Karno.
Istana Tampaksiring itu sendiri, selama Orba berkuasa tertutup untuk umum, dan setelah Orba lengser serta memasuki era reformasi, siapa saja, baik turis lokal maupun mancanegara boleh masuk menikmati istana yang asri tersebut.
Selain Tampaksiring, ada satu tempat lain yang menjadi favorit Bung Karno di pulau Dewata, yaitu vila "Lila Graha" yang berada di perbukitan Bedugul, kabupaten Tabanan.
Vila yang menghadap ke danau Bratan, sekitar 55 Km Utara kota Denpasar tersebut, hingga kini masih kokoh dan warga setempat lebih mengenalnya dengan sebutan "Vila Bung Karno."
Mencintai Seni Bali
Bung Karno, penggagas dan penggali Pancasila itu memiliki "darah seni" yang mengalir dari ayahnya Raden Sukemi Sastrodihardjo, asal Blitar, Jawa Timur yang membentuk rumah tangga dengan wanita Bali, Ida Ayu Nyoman Rai.
"Darah seni" itu terwujud dalam bentuk perhatiannya terhadap seni dan budaya nasional, khususnya kesenian Bali yang sangat disenanginya.
Hampir setiap kunjungannya ke Bali, bisa dipastikan negarawan Indonesia itu menyaksikan suguhan kesenian setempat.
Sekaa (grup) kesenian Bali juga sering mendapat pesanan untuk naik pentas di Istana Negara/Merdeka di ibukota.
Sekaa kesenian itu termasuk dari Banjar Bale Agung, Singaraja, tempat kelahiran Ibundanya, sekaa dari desa Jagaraga, Buleleng, sekaa kesenian di Peliatan Ubud, Gianyar.
Ida Bagus Oka Wirjana, pria kelahiran Banjar Blangsinga, Gianyar yang kini berusia 73 tahun misalnya, ketika masih remaja bersama enam rekan seprofesinya yang tergabung dalam sanggar "Cinta Manik" , menjadi seniman kesayangan Bung Karno.
Seniman pembaharuan kebyar duduk tari Bali itu, senantiasa mendapat kehormatan untuk pentas menghibur tamu-tamu negara di istana Merdeka Jakarta maupun di Istana Tampaksiring.
Demikian pula seniman serba bisa I Made Toya yang berpasangan dengan Ni Made Darmi asal Denpasar, dengan lincahnya menampilkan kebyar duduk, tari yang menggambarkan pergaulan muda-mudi dan sangat digemari Bung Karno.
No comments:
Post a Comment